Aya, Dosenku yang Judes (My Judes Teacher, Aya)
Dingin. Suasana menjelang pagi, semakin sejuk, ditambah pendingin ruangan kamar hotel berbintang itu terus menyala dengan suhu rendah hingga anginnya semakin menusuk kulit. Binar Cahaya Mustika berupaya menarik selimut tebal yang sedang digenggamnya, agar semakin membalut tubuhnya yang semakin kedinginan. Tapi seketika dia membuka matanya ketika dia menarik selimut, seperti ada yang menahannya, begitu berat, hingga dia kesulitan.
"Lo pikir, lo doang yang kedinginan, hah?"
Wanita itu langsung membuka matanya seketika. Mengerjapkan berkali-kali saat mendengar suara berat dari seorang lelaki yang begitu dekat di telinganya.
"Lo siapa?!" Sentak Aya, dia langsung menoleh pada sumber suara. Pemandangan yang dilihatnya adalah tubuh kekar lelaki berambut gondrong, yang sedang telungkup. Sebagian punggung lelaki itu terlihat karena tidak ada apapun yang menutupinya.
Aya berupaya menarik selimut semakin kuat lantaran merasa dalam bahaya saat ini, hingga apa yang dilakukannya mengakibatkan lelaki di sampingnya terusik.
Pergerakan mulai terlihat, Aya semakin was-was. "Jangan mendekat! Ka-kamu?!" Aya terperangah saat melihat apa yang ada di sampingnya, lelaki itu memperlihatkan wajahnya. Lelaki itu adalah salah satu mahasiswa bimbingan Aya, dan menurutnya paling menyebalkan, sering membuatnya emosi, juga naik darah dengan kata-kata dan tingkah lelaki itu yang sering berbuat sesuka hati.
"Bu Aya?" Lelaki itupun mengucek matanya, mengerjapkan berkali-kali untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya tidak salah.
"Ka-kamu, mahasiswa abadi, ngapain di kamar ini?!" Sentak Aya dengan suara bergetar dan degup jantung yang berpacu sangat kencang bahkan rasanya seperti nyaris melompat keluar dari tempatnya.
"Ibu tenang dulu." Biru Samudra Rajendra berupaya menenangkan dirinya sendiri, sekaligus wanita di hadapannya itu. "Saya dijebak teman-teman saya semalam. Saya kalah taruhan sampai harus menerima tantangan dari mereka–"
"Keluar kamu dari kamar saya! Saya yang reservasi kamar ini untuk istirahat dan staycation. Kenapa kamu bisa di sini?" Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Aya, perasaannya semakin tak enak saat melihat bagaimana penampilan lelaki di hadapannya. Tanpa busana apapun di bagian atas, sama seperti dirinya. Apa yang sudah terjadi sebenarnya? Dia mencoba memejamkan mata, mengingat apa yang telah terjadi semalam. Seingatnya, malam tadi usai berpesta dengan teman-temannya di longue hotel ini, Aya langsung masuk ke kamar yang telah disiapkan untuknya ini. Kala itu, dia memang sedikit pusing, mungkin karena paksaan teman-temannya untuk mencoba minuman beralkohol. Aya dan tujuh orang teman lainnya memainkan sebuah permainan berupa arisan. Selain mendapatkan uang, yang memenangkannya juga mendapat hadiah menginap di sebuah hotel dengan fasilitas yang cukup mewah.
"Iya, saya keluar dari sini." Tanpa membuka selimut, Biru mencoba meraih pakaiannya yang berserakan di lantai. Dia pun merasa dijebak oleh teman-temannya setelah berpesta di bar.
Aya langsung mengalihkan perhatiannya kala lelaki itu dengan santainya memakai pakaian di hadapannya. "Gila kamu, ya!" Umpat Aya.
"Lah Ibu kan bisa tutup mata dulu. Atau kalau ibu mau, lihat aja nggak apa-apa saya rela–"
Ucapan Biru terhenti karena Aya melemparnya dengan bantal.
"Kamu ngomong gampang banget. Emang dasar nggak berotak, pantas aja skripsi kamu nggak kelar-kelar." Aya mencoba mengatur napasnya lantaran menahan kesal karena sikap lelaki itu yang begitu santai, tanpa rasa bersalah dan tidak berpikir sedikitpun dengan apa yang sudah terjadi diantara mereka semalam.
"Ibu bilang apa barusan?" Biru sudah memakai sebagian pakaiannya. Setidaknya penampilannya sudah lebih baik daripada tadi. Di tangan kanannya memegang sebuah kaos berwarna hitam, tanpa memakainya terlebih dahulu, Biru berjalan mendekat pada wanita yang tak bisa berkutik itu. "Ibu ngatain saya?"
Aya terdiam, dia menunduk dan berharap semoga Biru segera enyah dari hadapannya.
"Ternyata seorang Binar Cahaya Mustika terlihat semakin cantik ketika bangun tidur. Beruntung banget yang jadi suami kedua Ibu nan–"
Plak.
Biru mendapat tamparan kuat di pipinya. Lelaki itu memejamkan matanya sekilas, lalu tersenyum santai.
"Cepat pergi! Tolong anggap kejadian semalam nggak pernah terjadi, entah apapun itu!" Titah Aya dengan kasar. Dia bergerak mundur ke belakang karena dengan kurang ajarnya Biru mendekatkan wajah mereka. Aya meringis ketika terlalu banyak bergerak, dia merasakan sesuatu yang tidak nyaman di bagian bawahnya.
"Saya akan keluar dari kamar ini. Tapi kita belum selesai, kita perlu bicara." Tegas Biru sembari memakai kaosnya.
"Bicara apa lagi? Kan udah saya bilang, lupakan–"
"Nggak bisa lupakan gitu aja. Sebelumnya saya masih perjaka. Gara-gara Bu Aya, perjaka saya hilang! Kalau memang semalam kita melakukannya, itu berarti yang pertama buat saya!" Ketus Biru tak mau kalah.
Mata Aya terpejam singkat, hingga bulir-bulir bening jatuh dan mengalir di pipinya. "Kamu pikir, ini yang keberapa buat saya?"
"Loh, Ibu ngomong apa sih? Ibu kan janda, ya pasti udah kesekian kali lah." Biru mencibir, lalu tertawa mengejek.
Tawa Biru, membuat tangis Aya semakin menjadi dan terdengar begitu pilu. Hingga lelaki itu merasa bersalah. Tapi masih tak percaya dengan kata-kata dosennya barusan.
"Mana ada janda tapi perawan?" Gumam lelaki itu, dia duduk di tepian ranjang, belum menjauh dari Aya. Entah perasaan apa yang membuat satu tangannya terangkat untuk memberi usapan lembut pada rambut wanita yang empat tahun lebih tua darinya itu.
Ajakan dari Mahasiswa Abadi
Binar Cahaya Mustika sedang membolak-balikkan lembaran kertas yang sedang dipegangnya. Dengan perasaan kesal, geram, Aya menatap kata demi kata yang ada di dalam kertas itu. "Enggak ada perubahan, apa yang udah kamu revisi?" Dengan tatapan sinis, Aya menatap lelaki berambut agak gondrong di hadapannya. Sebenarnya bukan gondrong, hanya saja sedikit urakan dan jauh dari kata rapi dan Aya sangat tidak suka melihat penampilannya.
"Memang belum saya revisi sama sekali," sahut lelaki bernama Biru itu dengan cukup santai, tanpa rasa takut dan bersalah, seperti mahasiswa pada umumnya ketika sedang berhadapan dengan dosen pembimbing. Tapi seorang Biru Samudra Rajendra, sangat santai menghadapi Aya, dosen muda yang terkenal judes setengah mati. Banyak mahasiswa terutama mahasiswi yang sering sakit hati dengan perkataannya. Menurut Aya, kata-kata pedasnya bukan berniat untuk menyakiti hati, tapi sebagai motivasi.
"Jadi ngapain kamu temui saya?" Tanya Aya geram, lalu menutup skripsi milik si mahasiswa abadi itu dengan sedikit hentakan.
"Ibu yang maksa saya untuk ketemu hari ini, ya… saya mau gimana–"
"Tapi maksud saya, dengan syarat, kamu udah melakukan revisi. Kalau belum, buat apa kamu temui saya, buang-buang waktu!"
"Jadi, saya harus gimana? Ibu bilang kondisinya urgent karena Bu Aya mau ngambil cuti selama dua minggu, tapi kesannya malah Ibu terlalu memburu saya untuk revisi, padahal saya dikasih waktu cuma sehari. Ya mana bisa, Bu." Dengan beraninya, Biru menjawab setengah menantang dan akhirnya berhasil membawa emosi lawan bicaranya sampai ke puncak. Apalagi dengan gelagat sambil menaikkan bahu, seolah menyepelekan hal ini. Aya memang berencana untuk mengambil cuti selama dua minggu jika urusannya dengan Biru sudah selesai, karena Aya dan dua sahabatnya merencanakan liburan ke luar negeri bersama-sama dalam rangka mengobati patah hati Aya. Wanita itu resmi bercerai dengan suaminya sekitar tiga bulan lalu. Hingga gosip tentang status Aya yang kini seorang janda sudah mulai tersebar ke lingkungan kampus.
"Sekarang, terserah kamu! Niat saya cuma mau bantu kamu, supaya kamu cepat selesai, waktu kamu dua bulan lagi, lewat dari dua bulan, kamu resmi ditendang dari kampus ini. Tapi jawaban kamu, seakan ini adalah kepentingan saya. Oke, sekarang terserah kamu aja!" Kesabaran Aya benar-benar habis. Dia berdiri, mengambil tas dan remote mobilnya yang tergeletak di atas meja kerja. Sungguh, dia ingin sekali mengabaikan mahasiswa bengal sejenis Biru. Tapi hati dan nurani nya masih berjalan dengan baik. Merasa tidak tega jika sampai harus ada mahasiswa bimbingannya yang didrop out, hanya karena dia menyerah membimbing mereka.
"Bu, maaf kalau kata-kata saya salah." Setelah mengambil skripsinya yang belum selesai dan ditinggalkan Aya begitu saja, Biru ikut berdiri, mengejar Aya yang saat itu hendak keluar dari ruangan. Kebetulan, saat ini, Aya hanya sendiri di ruangannya tanpa ada staf yang biasa membantunya karena sedang jam istirahat.
"Ya, kamu memang salah!" Sahut Aya. "Ngapain kamu sentuh-sentuh saya?!" Sentak Aya lagi, dengan nada kesal, lalu membalikkan badan, karena merasa pundaknya disentuh. "Berani sekali kamu?!" Dengan tatapan yang semakin tajam, dia mendongak menatap Biru yang jauh lebih tinggi darinya.
Ditatap seperti itu, tidak membuat Biru takut, lelaki itu justru tersenyum, dan menatap Aya dengan lembut, hingga Aya sempat gugup dibuatnya.
"Mau apa kamu? Saya kasih waktu sampai besok, temui saya lagi, di sini, jam sembilan pagi." Tegas Aya.
"Padahal Ibu cantik banget, tapi kalau nggak judes." Kata-kata itu, terlontar begitu saja dari mulut Biru, dia masih menatap Aya begitu dalam, hingga Aya akhirnya memalingkan wajahnya ke arah lain. Wanita itu semakin tak habis pikir. Mengapa Biru begitu berani?
"Diam kamu! Cepat selesaikan revisinya, segera saya acc skripsi kamu, saya udah muak lihat kamu tiap hari, dasar mahasiwa abadi!" Sentak Aya, lalu kembali melangkah. Namun, detik berikutnya, Aya merasa satu tangannya disentuh, dan digenggam cukup erat, hingga dia kembali menghentikan langkah.
"Kamu gila, ya?!" Aya menepis tangannya yang sempat digenggam erat oleh Biru.
"Saya semakin yakin dan mengerti, kenapa Ibu diceraikan suami, sikap Bu Aya terlalu dingin. Terlalu cuek, mana ada cowok yang tahan dengan perempuan judes seperti Ibu." Mendengar kalimat Biru yang semakin menjadi-jadi, Aya yang merasa dirinya masih waras, memilih mengalah dan meninggalkan lelaki itu sendirian di ruangan, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, dia mengambil langkah. Hatinya sakit jika mengingat kejadian itu, dimana mantan suaminya memutuskan untuk menceraikannya. Padahal, bukan itu alasannya. Bukan seperti yang Biru katakan.
"Baby, gimana? Masih dipersulit?" Aya baru keluar beberapa langkah dari pintu, melihat sosok seorang wanita berpenampilan modis, bertubuh tinggi bak model, menyapa Biru yang saat itu juga keluar dari ruangannya dan Aya yakin wanita yang lebih muda darinya itu adalah kekasih Biru. Karena jadwal mengajarnya masih beberapa jam lagi, Aya memilih pergi meninggalkan kampus untuk menenangkan diri.
*
"Kenapa nggak lo selesaikan aja urusan lo dengan si mahasiswa abadi itu, gampang banget, kan? Tinggal acc aja, dia sidang, kelar deh." Dua teman dekat atau bisa dikatakan sahabat Aya, sudah mulai muak mendengar keluhan Aya tiap kali mereka bertemu. Aya selalu mengeluh tentang mahasiswanya yang bernama Biru itu. Kali ini, Aya masih diam, belum menanggapi apapun atas saran sahabatnya barusan. Setelah menyeruput matcha latte, minuman pilihannya, kini wanita itu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Seperti biasa, minimal seminggu dua kali, Aya dan dua sahabatnya melakukan pertemuan rutin yang menurut mereka wajib hukumnya, demi menjaga tali persahabatan yang sudah mereka rajut belasan tahun lamanya.
"Lagian, itu anak cakep sih, namanya juga keren tapi–"
"Etikanya nggak sebagus namanya," sahut Aya cepat atas pernyataan Reva, salah satu sahabatnya.
"Nah, iya itu."
"Bukannya gue nggak mau mempercepat urusannya dengan gue. Masalahnya, kalau gue langsung setuju dengan skripsinya yang amburadul itu, malah gue yang kena masalah dengan dosen-dosen lain. Ya, gue juga nggak mau mempermalukan diri sendiri dong, apalagi waktu sidang. Bisa-bisa si Biru dihajar habis-habisan sama dosen penguji lain. Ujung-ujungnya pasti gue juga kan yang dianggap doping nggak becus. Pingin nyerah gue rasanya."
Kata-kata ingin menyerah dari Aya sudah sering terlontar dari bibirnya. Hanya saja, itu seperti sekadar kata tanpa perbuatan. Sempat dia ingin mengundurkan diri menjadi dosen, karena tidak sanggup menghadapi tingkah mahasiswa yang beraneka ragam. Sebenarnya, puncak masalah yang dia alami hari ini, bukan sekadar Biru yang tidak menyelesaikan revisi, tapi lelaki itu yang begitu berani membahas tentang hal pribadinya, dengan menggunakan kata-kata yang cukup menusuk. Dan hal itu tidak ingin Aya ceritakan pada Reva dan Nania.
"Ribet ya jadi dosen, lo nggak pingin nyoba profesi lain, gitu?" Saran Nania. "Ntar kalau ada lowongan di kantor gue, gue kabarin, lo mau nggak?" Tawarnya sekali lagi.
"Gue mau-mau aja. Tapi lo kan tau gimana mama dan papa gue yang backgroundnya dosen, mereka pingin ada penerus dan karena gue anak tunggal, ya terpaksa gue jadi korbannya," keluh Aya.
Ting.
Aya langsung menegakkan tubuhnya, saat mendengar notifikasi chat di ponsel utamanya. Ponsel yang biasa dia gunakan khusus untuk berurusan dengan mahasiswa atau urusan pekerjaan lainnya.
Mahasiswa Abadi
Bu Aya, maafkan kata-kata saya hari ini. Saya sadar, saya keterlaluan. Sebagai permintaan maaf saya, gimana kalau kita dinner malam ini? Sekaligus saya mau menyerahkan hasil yang udah saya revisi, ternyata kalau saya kerjakan sungguh-sungguh, selesainya bisa lebih cepat dari yang saya duga. Saya harap, Ibu mau menerima ajakan saya. :)
Memanfaatkan Ketampanan
"Salah kamu juga, Mas. Kenapa nggak kamu kerjain dulu sebelum ketemu Buaya betina itu, udah tau karakternya payah. Malah bikin gara-gara!"
Biru sedang memegang kepalanya dengan kedua tangan, dia menunduk diam lantaran tidak sanggup mendengar ocehan wanita di hadapannya. Berliana Cassandra atau wanita yang akrab disapa Lili itu masih mengomel karena sampai detik ini Biru, sang kekasih belum juga menyelesaikan skripsi, sementara waktunya tinggal dua bulan saja. Riuh suara percakapan di kantin kampus itu pun membuat kepala Biru semakin pening.
"Kalau kamu cuma mau ngomelin aku, mending kamu pulang aja," ujar Biru dengan suara tegasnya, sambil menegakkan kepalanya menatap Lili geram. Dia butuh dukungan bukan omelan tak penting seperti yang Lili lakukan padanya saat ini.
"Aku di sini mau bantu kamu, malah disuruh pulang. Sini, aku bantu revisi–"
"Enggak usah, Li!" Biru merampas bundelan kertas sebanyak delapan puluh lembar miliknya, yang saat itu sudah berpindah ke tangan Lili. Lelaki itu langsung memasukkan skripsinya ke dalam ranselnya. "Kamu dari dulu selalu menyepelekan aku. Apalagi kamu selalu bangga dengan predikat cumlaude kamu, setiap orang nggak bisa disamakan, Li. Sekarang aku mau buktikan kalau aku bisa selesaikan tugas akhir ini, dengan cara dan dengan tanganku sendiri. Tanpa bantuan orang lain, apalagi pakai jasa–"
"Ya tapi, nyatanya kamu nggak mampu, Mas. Udah deh, turunin aja gengsi kamu yang selangit itu." Lili melipat kedua lengannya di d**a, wanita itu berlagak paling benar, berlagak paling setia dan paling mendukung Biru dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Namun, nyatanya justru wanita itulah yang sering membuatnya down hanya dengan kata-kata.
"Lihat, apa kamu bilang barusan? Kamu rendahin aku lagi, Li. Cukup!" Biru menarik jaket, dan ranselnya. Dia berdiri, bersiap untuk melangkah meninggalkan Lili.
"Sayang, bukan begitu maksud aku." Wanita itu mengejar lelakinya yang pasti sedang merajuk, karena tersinggung dengan kata-katanya. Suara ketukan beraturan dari sepasang heels yang dikenakan Lilipun mulai terdengar di telinga Biru. "Kamu harusnya ngerti, Mas. Gimana resahnya aku, papa aku nggak merestui kita menikah kalau kuliah kamu belum selesai walaupun nyatanya kamu udah berpenghasilan." Lili menarik dan melingkarkan lengannya di lengan Biru.
"Sebenarnya, aku nggak paham dengan jalan pikiran papa kamu. Hanya karena sebuah gelar yang belum aku dapatkan secara resmi, dia nggak mengizinkan aku menikahi kamu. Padahal jelas-jelas aku bisa penuhi dan kasih apapun yang kamu mau dan kamu butuh." Biru berucap dengan nada penuh kekecewaan. Karena seperti itulah faktanya.
"Mas, ayo kita pergi ke tempat yang tenang. Kamu pasti butuh ketenangan, setelah menghadapi Buaya betina itu. Dan aku punya ide, tentang apa yang harus kamu lakukan supaya kamu dipermudah dan yang kamu lakukan nggak sia-sia." Lili mengikuti Biru sampai ke area parkir khusus sepeda motor.
"Ya udah, kemana?" Biru luluh, setelah melihat senyum manis Lili.
"Kamu nggak usah bawa motor kamu. Naik mobilku aja."
"Hm, oke."
Biru memang terkadang kesal dengan sikap Lili, tapi dia tidak punya pilihan lain, karena hanya wanita cantik ini yang masih setia mendukungnya di saat seperti ini. Teman-teman dekat Biru yang seangkatan dengannya sudah selesai sejak awal tahun, bahkan ada yang sejak tahun lalu. Tinggal lah dia sendiri, berjuang bersama tugas akhir yang menyebalkan. Ditambah bertemu dengan dosen pembimbing yang susah ditaklukkan.
*
"Kamu gila?!" Sentak Biru, ketika dia baru saja membaca sebuah chat yang sengaja diketik dan dikirimkan oleh Lili, melalui ponselnya ke sebuah kontak nama yang paling Biru segani dan dia beri nama Doping Judes. "Sinting kamu, Li!" Umpat Biru sekali lagi, sembari meremas rambutnya sendiri. Kini mereka sedang berada di sebuah cafe yang suasananya cukup tenang dan jauh dari kata berisik.
"Udah deh, kamu tuh perlu manfaatkan ketampanan kamu ini, Mas. Manfaatkan apa yang ada pada kamu. Dia, Buaya betina apalagi janda, pasti butuh rayuan, gombalan dari laki-laki. Kenapa kamu nggak manfaatkan itu aja, siapa tau dia luluh." Lili malah tertawa dengan santai setelah melakukan hal yang membuat kekasihnya marah besar. Ajakan dinner, sekaligus penyerahan revisi skripsi.
"Bukan masalah dinnernya aja, masalahnya kamu bilang di dalam chat itu kalau aku udah selesai revisi dan mau nyerahin hasilnya malam ini sekaligus dinner. Sementara aku belum ngerjain sama sekali. Mana chatnya nggak bisa ditarik lagi, dia udah baca." Biru mencampakkan ponselnya ke atas meja.
"Udah di read?" Lili mengambil ponsel Biru, memastikan apa yang Biru katakan. "Dia mengetik, Mas! Dibalas!" Seru Lili kegirangan. "Kali ini cara kita pasti berhasil."
"Langsung dibalas?" Tanya Biru tak percaya.
Doping Judes
Berhubung saya juga ingin mengambil cuti dan sangat ingin mempercepat urusan saya dengan kamu, maka ajakan kamu saya terima. Silakan tentukan tempat, serta waktunya. Saya usahakan datang tepat waktu, saya harap kamu juga begitu.
"Iya, baby. Nah kan, dia mau,” sahut Lili
"Apa?! Dia mau dinner bareng aku?" Biru tak menyangka kalau dosennya menerima ajakan itu dengan mudahnya.
"Iya. Nih." Lili menyerahkan ponsel Biru yang layarnya masih menampilkan balasan Chat dari Aya.
Biru terdiam beberapa saat membaca balasan dari si Dosen judes.
"Jangan kebanyakan bengong, sini aku bantu revisi." Lili menarik ransel Biru, mengeluarkan skripsi, beberapa buku, serta macbooknya dari dalam sana. Gadis itu terlihat santai sekali, sementara Biru, pikirannya sedang kacau memikirkan bagaimana dia harus menghadapi malam ini.
Kali ini, Biru pasrah. Dia menyerahkan semuanya pada Lili, bukan karena dia menyerah, tapi karena sudah terlanjur. Lelaki itu berpindah duduk, yang awalnya di hadapan Lili, kini duduk tepat di sebelah kekasihnya yang terlihat antusias membantunya.
"Kenapa kamu semangat banget?" Tanya Biru, memperhatikan jemari lentik Lili yang bergerak-gerak menekan satu persatu huruf pada keyboard di macbooknya.
"Karena aku pingin cepat kamu nikahin, Mas. Aku bosan jauh-jauhan terus dari kamu."
Biru mencibir, lalu tertawa."Jauh-jauhan apanya? Kita hampir setiap hari ketemu." Lelaki itu mengacak-acak rambut Lili dengan gemas.
"Ih, jangan ganggu dulu. Biarin aku ngerjain ini, nanti kamu tinggal periksa aja, Mas. Mana kalimat yang kira-kira nggak dibutuhkan, langsung kamu hapus."
"Iya sayang. Thank you, ya!"
"Nggak mau cuma thank you."
"Jadi, mau apa? Tas, sepatu, baju? Atau–"
Lili mendekatkan wajahnya pada telinga Biru. "Mau check in bareng kamu," ucap wanita itu setengah berbisik.
Lelaki itu langsung terkekeh mendengar permintaan kekasih manjanya. "Berhenti bercanda, sayang. Fokus kerjakan itu dulu. Supaya urusanku dengan si Judes benar-benar selesai."
"Oke. Nanti aku bakalan kasih tips-tips, supaya dia bisa terpengaruh dengan pesonamu." Semangat Lili begitu membara untuk membantu Biru menyelesaikan urusannya dengan dosen yang super menyebalkan itu.
"Oh pasti, aku juga bakalan keluarkan jurus-jurus maut, Aku juga bakalan tatap dia dengan tatapan mematikan, supaya dia nggak bisa berkutik dan langsung ACC skripsiku."
"Tapi ingat, jangan pakai perasaan." Lili mengingatkan dengan penuh penekanan.
“Ya nggak mungkin, lah!” sahut Biru begitu yakin.
Selamat Malam, Ibu Cantik.
Karena dukungan dan desakan dua sahabatnya, Binar Cahaya Mustika alias Aya, atau yang biasa dikenal dengan dosen judes itu akhirnya menyetujui permintaan Biru untuk dinner malam ini. Aya memegang kepalanya, pusing memikirkan hal ini. Menurutnya, ini adalah hal paling gila yang pernah dia lakukan selama menjadi dosen. Menerima ajakan mahasiswanya untuk Dinner. Dan Biru bukan orang pertama yang mengajaknya, tapi lelaki itu adalah orang pertama yang diterimanya.
"Ya udah sih, nggak usah pusing, Ya. Hadapi aja. Lagian, kita butuh lo libur cepat supaya liburan kita cepat terlaksana," ujar Nania.
"Iya, mumpung suami gue lagi nggak ada di Indo, liburan kita harus segera terealisasi," sahut Reva.
"Iya benar. Sekarang laki gue juga lagi sibuk-sibuknya, lembur mulu, jadi nggak masalah kalau gue izin keluar negeri beberapa hari." Nania membenarkan ucapan Reva.
Sementara Aya masih terdiam. Sejujurnya, dia sama sekali tidak berniat menerima ajakan Biru. Desakan dua sahabat yang membuatnya harus menyetujui. "Doakan aja tuh anak nggak bertingkah lagi. Maksud gue, skripsinya benar-benar beres, jadi bisa cepat selesai."
"Aamiin. Apa perlu kita kawal lo ntar malam–"
"Nggak usah," sahut Aya cepat.
"Penasaran gue sumpah, yang mana sih, orangnya? Lo beneran nggak punya fotonya. Dan seganteng apa dia?" Tanya Nania.
"Nggak. Buat apa gue nyimpan foto dia, nggak penting banget."
"Gini… gini. Karena kami berdua penasaran dengan mahasiswa lo yang namanya Biru Biru itu. Gimana kalau ntar malam kami berdua ikut sama lo, tapi kami duduk di meja yang berbeda. Pokoknya kita pura-pura nggak kenal aja." Saran Reva.
Aya menghela napas berat. Dia benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran dua sahabatnya ini. "Nggak. Kalian kayak orang kurang kerjaan aja," tolak Aya mentah-mentah.
"Kebetulan gue bisa pulang cepat ntar malam. Gue bosan di apart sendirian, laki gue pasti pulang malam." Nania berkomentar.
"Apalagi gue, j****y. Nggak beda jauh sama lo, Ya. Bedanya gue ada suami, lo janda," sahut Reva.
"Hahaha." Tawa lebar Nania yang tak bisa terkendali itu berhasil membuat beberapa pengunjung lain menoleh.
"Jahat kalian." Aya menggerutu kesal. Bukan hal baru dia menjadi bahan olok-olokan dua sahabatnya itu.
"Makanya gih cari baru. Lo tuh janda unik tau, janda tapi perawan."
"Gue nikah sama si b******n itu lebih dari tiga bulan, bakalan susah dipercaya kalau gue janda tapi perawan," sahut Aya miris.
"Iya… tapi nyatanya emang gitu. Dia nggak nyentuh lo sama sekali. Karena lo nggak punya pedang, lo adanya lubang–"
"Ssst!" Aya kehabisan kesabaran, terpaksa harus menutup mulut Nania dengan telapak tangannya. "Udah deh, jangan mengorek luka lama gue. Gimana bisa move on kalau kalian gini terus."
"Move on, cari baru. Senang-senang dengan cowok baru," seru Reva. "Kalau lo bisa dapat berondong segar, nah itu lebih bagus lagi."
Aya menggelengkan kepala. Tak pernah terpikir olehnya, mendekati atau berhubungan dengan lelaki yang lebih muda. "Nggak!"
"Lo benci banget, kan sama si Biru?" Tanya Reva.
"Bukan benci, lebih ke… nggak suka aja dengan penampilan apalagi tingkahnya. Berandalan."
"Benci ama cinta itu beda tipis, kata orang-orang sih gitu." Timpal Nania.
Aya berdecak kesal. Jika dibiarkan, Reva dan Nania pasti akan semakin menjadi-jadi. "Jangan ngaco. Mending gue single seumur hidup, daripada harus… udah deh, nggak mampu gue nerusin kata-kata gue. Saking nggak sanggup ngebayanginnya."
"Ngebayangin apa? Nikah sama brondong? Atau sama Biru?" Reva tertawa sejadi-jadinya disambut oleh Nania.
Aya berdiri, meraih tas dan ponselnya yang tergeletak di atas meja. "Nggak ada solusi ngomong sama kalian. Gue cabut dulu–"
"Mau kemana? Ketemu Biru kan masih ntar malam," ledek Nania lagi.
"s****n lo pada. Gue masih ada kelas setengah jam lagi," sahut Aya, sambil melambaikan tangan.
"Oke Bu Dosen Judes, selamat mengajar."
*
"Kamu mau ke mana, Nak?"
"Mau… ketemu Reva dan Nania, Pa," jawabnya berbohong.
Malam mencekam bagi Aya, mendapat pertanyaan dari papanya ketika dia baru saja keluar dari kamarnya. Sekitar jam tujuh malam, dia sudah bersiap rapi dengan gaya casualnya. Pakaian yang dikenakan malam ini, sangat jauh berbeda dengan yang biasa Aya pakai ketika mengajar. Wanita itu menganakan sebuah kaos longgar lengan panjang, berwarna baby pink, dipadu dengan jeans boyfie berwarna biru muda. Apalagi, kaosnya sengaja dia masukkan memperlihatkan stylenya yang berbeda malam ini, tidak jauh beda dengan style anak remaja. Bentuk tubuhnya yang mungil juga mendukung.
Aya terpaksa berbohong, karena dia tidak mungkin mengatakan akan pergi dinner bersama seorang lelaki, apalagi itu mahasiswanya. Sejak menjadi janda, kedua orang tua Aya terutama sang Papa menjadi overprotective padanya. Karena tidak mau Aya salah langkah lagi, hingga menciptakan hal buruk yang akhirnya menyiksa diri seperti yang Aya alami di masa lalu.
"Mereka jemput ke sini?" Tanya Ilham lagi.
"Enggak Pa, kami janjian. Aku bawa mobil sendiri. Aku… pergi dulu ya Pa." Aya langsung pamit lalu menyalami papanya karena tak ingin sang papa memberikan pertanyaan terlalu banyak dan akhirnya menyulitkannya.
"Iya. Hati-hati. Papa harap, jam sepuluh kamu udah di rumah." Tegas Ilham sambil mengantar putri tunggalnya ke teras rumah.
"Iya Pa. Tolong bilang ke mama, kalau aku pergi sebentar."
"Iya."
Setengah jam perjalanan, mengendarai mobilnya dengan santai, Aya tiba di sebuah restoran. Tempat yang dijanjikan oleh Biru.
Tok tok tok
Setelah mobilnya berhenti tepat di area parkir roda empat. Aya dikagetkan suara ketukan di kaca mobil, tepat di sisi kanannya. Wajah Nania terlihat di sana membuatnya geleng kepala. Meski dia tidak menyetujui Reva dan Nania mengikutinya, tapi dua wanita itu tetap tidak bisa dicegah.
"Kalian." Gerutu Aya.
"Lama banget lo? Kami udah hampir setengah jam nunggu di dalam mobil," omel Reva padanya.
"Ngapain juga gue buru-buru. Belum tentu si Biru tepat waktu."
"Tadi Reva sempat masuk ke dalam, buat ngecek si Biru-Biru. Tapi masih bingung yang mana orangnya," ucap Nania.
Aya tertawa. "Anak itu nggak mungkin tepat waktu."
"Tapi lima belas menit lalu, kami lihat ada cowok muda, ganteng, fresh, yummy, dan rapi banget, masuk ke dalam sambil bawa ransel dan buket bunga. Apa mungkin dia?" Tanya Nania memastikan.
Namun, kata-kata Nania yang berlebihan membuat Aya mencibir. “Apa? Bunga?" Tanya Aya tak percaya.
Jika hanya ransel yang dibawa, bisa jadi itu memang Biru. Tapi buket bunga? Untuk apa?
"Iya," sahut Reva.
"Pasti bukanlah." Aya menyangkal karena memang begitu yakin.
"Mending lo masuk dulu, cek ke dalam kali aja iya beneran dia," saran Reva.
"Dia belum hubungi gue kalau dia udah nyampe." Aya melihat ponselnya, tidak ada notifikasi apapun di sana.
"Dia udah datang atau belum, minimal kita udah di dalam, dan kami bakalan duduk nggak jauh-jauh dari lo." Reva menarik tangan Aya, hingga mau tak mau, wanita itu melangkah mengikuti dua sahabatnya yang super heboh.
"Bentar dulu, penampilan gue nggak aneh, kan?" Aya menghentikan langkahnya.
Dua sahabat menoleh ke arahnya. Menatapnya dari ujung rambut hingga kaki. Reva dan Nania kompak mengangguk. "Sempurna."
Aya berjalan lebih dulu, dan mereka disambut oleh salah satu pelayan. "Reservasi atas nama Biru," katanya.
"Oh ya silakan, di sana Bu, sudah ditunggu."
Aya, Reva dan Nania kompak melihat ke arah yang ditunjukkan pelayan. Meja paling pojok di bawah cahaya maksimal. Aya sempat terdiam heran karena benar yang dikatakan dua sahabatnya, lelaki yang membawa buket bunga itu memang Biru. Tapi, untuk apa Biru sampai segitunya? Aya tersenyum sinis.
"Benar kan, itu dia?" Desak Reva begitu yakin.
"Iya. Ya udah, kita pisah di sini. Jangan sampai dia ngeliat kita barengan." Aya mengingatkan lalu dia mengambil langkah pasti menuju tempat dimana Biru berada.
Awalnya, Aya melangkah dengan begitu yakin. Namun, semakin dekat langkahnya menuju lelaki itu, jantungnya berdebar tak menentu. Ini gila. Seperti sedang menghadiri sebuah kencan buta. Biru sudah melihat Aya mendekatinya, lelaki itu langsung berdiri memegang buket bunga berukuran sedang. "Selamat malam, Ibu cantik." Sambil menyodorkan buket bunga, Biru memberikan senyum semanis mungkin, lelaki itu menyambut dosen judesnya dengan cara yang dia yakini bisa membuat Aya luluh.
Revisi Lagi
1138 Kata
“Ya. Malam.”
Aya meletakkan tasnya di atas meja, lalu dia duduk dan menyilangkan kedua kakinya, tentu tanpa menerima buket bunga yang Biru sodorkan padanya.
“Bunganya Bu, bunganya,” kata Biru yang masih berdiri layaknya laki-laki yang baru saja diabaikan. Sesak bercampur dongkol, juga malu pada pengunjung lain yang kala itu menatap ke arahnya. Baru kali ini dia merasa tidak berharga di mata seorang wanita.
“Loh buat saya?” tanya Aya dengan nada angkuh. Padahal, dia jelas-jelas sadar ketika Biru menyodorkan bunga itu untuknya tapi tentu saja Aya tidak perlu menerimanya. Untuk apa? mau menggoda? oh bukan tipikal Aya seperti itu, mudah tergoda apalagi dengan lelaki sejenis Biru, sudah tengil, berondong pula.
Biru tersenyum getir, menyimpan rasa kesal sekaligus gemas. Apa wanita di hadapannya ini buta? atau mungkin terlalu bodoh dan tidak bisa mengartikan? jelas-jelas buket bunga itu Biru berikan kepadanya. “Iya Bu, ini buat Bu Aya—“
“Tapi sayangnya saya nggak mungkin nerima. Soalnya saya nggak bisa nerima apapun pemberian dari mahasiswa, termasuk bunga, itu namanya gratifikasi. Saya nggak mau. Kamu simpan aja buat pacar kamu.” tegas Aya.
“Sayang sekali, padahal ini spesial saya pilih untuk Bu Aya—“
“Langsung aja Biru. Kamu mau apa? mengajukan revisi, kan?” Aya melirik arloji di tangan kirinya. “Saya nggak bisa lama-lama.”
“Santai Bu. Santai. Kita pesan makanan dulu, oke?”
Aya tidak menjawab, dia mengambil ponselnya berpura-pura sibuk, sementara Biru membolak-balikkan buku menu di hadapannya. “Ibu mau pesan apa?” tanya Biru dengan sopan, ya meski dia kesal, tetap harus menyimpannya dalam-dalam rasa kesal itu, sebab saat ini dia sangat membutuhkan Aya.
“Saya minum aja, nggak makan.”
“Kita lagi dinner Bu, masa nggak makan.”
“Terserah saya dong!”
“Oke.”
Aya memilih lechy ice tea sebagai minumannya, dan memesan itu pada waiters yang menghampiri mereka. Sementara Biru memesan satu porsi pasta dan minuman bersoda.
“Diet ya, Bu—“
“Biru Samudera Rajendra. Coba deh kamu langsung aja gitu ke intinya. Kamu mau bilang apa dan mana yang udah kamu revisi? saya benar-benar nggak punya banyak waktu.” tegas Aya langsung memotong kalimat Biru. Selain karena limit waktu yang diberikan papanya, hanya sampai jam sepuluh malam saja, Aya juga merasa cukup enggan berlama-lama bicara dan berhadapan dengan lelaki tengil ini. Memuakkan dan cukup membosankan. Aya merasa waktunya terbuang sia-sia jika dia harus meladeni lelaki ini terlalu banyak apalagi untuk pertanyaan-pertanyaan tak penting seperti barusan.
“Oke.”
Pantesan lo jadi janda, suami lo pasti kabur karena lo jutek dan angkuh setengah mati. Gue sumpahin lo jadi janda j****y selamanya. Umpat Biru di dalam hati. Kesalnya bukan main. Tangannya yang berada di bawah meja juga mengepal geram. Tapi sekali lagi, dia tidak bisa berbuat apapun saat ini.
“Ibu Bu, udah saya revisi.” Biru menyerahkan beberapa satu bundel kertas yang berisi puluhan halaman.
Aya mengambil, dan langsung mencari bagian yang harus lelaki itu perbaiki. Saking seringnya, si dosen judes jadi hafal di halaman berapa.
Selama lima menit, Aya dan Biru saling diam, sesekali mereka juga menikmati minuman yang baru diantarkan waiters. Aya fokus pada tulisan-tulisan di lembaran kertas yang sedang dipegangnya. Sedangkan Biru sibuk menggerutu dalam hati.
Pasti salah lagi. Pasti ada lagi yang salah. Oh nih dosen judes senang dan hobinya memang bikin orang emosi.
“Ini… kutipan ini, kamu ambil di mana?”
Nggak salah kan, dugaan gue? Biru tak henti-hentinya bersuara dan mengumpat dalam hati. Tapi dia berusaha untuk tenang layaknya Samudera.
“Saya nggak ngutip lho Bu, itu murni kalimat dari pemikiran saya—“
“Biru, saya lebih dulu belajar tentang teori ini daripada kamu. Saya, udah jadi dosen selama kurang lebih lima tahun. Saya hapal teori ini, dan tolong jangan jadikan ini claim kalimat murni dari kamu. Apa salahnya kamu mengakui aja, kalau kamu ambil dari google, dan kamu tinggal tambahkan sumbernya di footnote, kamu nggak salah kalau ternyata kamu memang ngutip. Tapi kamu justru salah kalau mengaku-ngaku ini milik kamu,” sangkal Aya dengan nada tegas tak ingin dibantah. Tak lupa dia tersenyum sinis, lalu meletakkan skripsi milik Biru di atas meja. Masih untung Ayah tidak mencampakkannya layaknya benda tak berharga.
Biru terdiam. Masalahnya revisi ini bukan dikerjakan olehnya, tapi oleh Lili, sang kekasih. Dan mana Biru tahu kalau ternyata kekasihnya itu juga mengambil kalimat ini dari sebuah teori.
Sial. s**l. s**l.
Tangan Biru masih mengepal di bawah meja.
“Diam kamu? nggak bisa jawab?” tanya Aya lagi, kali ini dia melipat kedua lengannya di d**a, sambil menatap Biru dengan dagu terangkat.
Sungguh Biru kesal dengan wanita mungil di hadapannya ini. “Oh maaf kalau begitu, Bu. Ternyata saya salah, ternyata kalimat itu keluar dari pikiran saya karena saya sering membaca teorinya. Tapi saya lupa teorinya dari mana—“
“Revisi lagi!” titah Aya.
“Lagi, Bu?” tanya Biru dengan nada kesal.
“Iya, kenapa? jelas-jelas harus kamu revisi karena kamu nggak menambahkan sumbernya di footnote, mau kamu dicap plagiat? dan bukan hanya kamu yang malu, tapi nanti saya juga. Di hadapan dosen penguji ketika kamu sidang, saya harus jawab apa?” tentu Aya tak ingin hal memalukan itu terjadi. “Jadi, kamu revisi lagi, ya?” pinta Aya dengan nada lembut kali ini. Memang cara bicaranya lembut, tapi menurut Biru, wanita itu sedang mencoba mengejeknya.
Biru mengusap kasar wajahnya. Bahkan makanan pesanannya yang sudah tiba itu tidak membuat selera makannya tergugah. Dinner yang benar-benar kacau. Biru salah mengira. Dia pikir, Aya akan dengan mudahnya terpengaruh dan tergoda dengan sikap manisnya ternyata tidak.
“Baik Bu,” sahut Biru pada akhirnya.
“Besok pagi temui saya.” tegas Aya, lalu dia menyedot minumannya lagi yang masih tersisa setengah. Wanita itu juga segera mengambil tas, berdiri lalu memakainya.
Lili s****n! bahkan kekasih cantiknya pun ikut kena imbas kekesalan Biru.
“Siap Bu. Tapi… setidaknya, bisa nggak Ibu temanin saya dulu sampai saya selesai makan?” Biru mencoba menahan wanita itu lagi, ya… setidaknya dia perlu malu untuk kedua kalinya dengan pengunjung lain di restoran itu karena ditinggal dan harus makan sendirian.
Aya menghentikan langkahnya, lalu tertawa sinis. “Atas dasar apa dan apa untungnya buat saya, temanin kamu sampai selesai makan. Lanjutkan aja. Atau kalau kamu nggak mau makan sendirian, panggil salah satu waiters yang cewek, buat temanin kamu, atau… telpon pacar kamu.”
Birupun tertawa. Tapi tawanya sungguh penuh keterpaksaan. “Saya heran dengan Bu Aya, kenapa asal kita sedang berdua, Ibu selalu menyinggung soal pacar saya? apa Ibu sebenarnya cemburu.”
Biru pikir, sekalian saja. Nasi sudah menjadi bubur, Aya terlalu sulit digoda dan ditaklukkan hatinya sebagai dosen pembimbing, membuat Biru frustasi dan akhirnya memilih memulai peperangan lagi dengan dosennya itu.
“Sinting kamu, ya? buat apa saya cemburu?!” Aya menggeleng, lalu tanpa pikir panjang lagi, dia berjalan meninggalkan mahasiswa yang otaknya semakin bergeser itu.
Menolak One Night Stand
1482 Kata
“Cara lo kurang ampuh, Aya si judes yang rumit, nggak akan luluh hanya dengan bunga. Mungkin lo bisa tawarkan yang lain, pedang punya lo misalnya.” Devan dan teman-teman lainnya entah sudah berapa kali menertawakan Biru malam ini setelah lelaki itu curhat dan mengeluh tentang skripsinya yang tak kunjung di ACC oleh dosen pembimbingnya. Kini lelaki itu sibuk menenggak minuman di dalam gelas yang sedang digenggamnya. Alih-alih pulang ke rumah setelah bertemu dosen pembimbingnya yang amat susah ditaklukkan, Biru malah pergi menemui teman-temannya di sebuah club malam.
“Benar banget, dia kan perempuan yang pernah menikah, lalu bercerai. Pasti kesepian. Kali aja lebih butuh pedang tumpul ketimbang bunga,” timpal Mario.
“Bacot lo pada. Bukannya ngasih solusi, malah bikin tambah pusing. Lo aja sana yang pinjamin pedang!” sahut Biru kesal.
“Gue sih mau-mau aja, dia cantik, biar mungil tapi bohay. Masalahnya, gue nggak punya urusan lagi dengan si Aya judes.” Mario tertawa melihat tampang Biru yang semakin geram, karena mereka terus mengejeknya. Bukannya memberi solusi, dua temannya itu malah membuat masalah Biru semakin rumit.
“Oke kalau gitu, solusi dari gue, malam ini happy-happy dulu, lupakan skripsi lo sejenak,” bisik Mario.
“Lo lihat tuh cewek, siap pakai dan siap ngangkang di depan lo, sana samperin!” saran Devan lagi sambil menunjuk ke arah salah satu wanita cantik berpakaian seksi di depan mereka, dengan jarak sekitar lima meter.
Biru tidak peduli dengan bisikan-bisikan setan di sekitarnya. Dia masih fokus menikmati minumannya, dan pikirannya tidak bisa fokus karena memikirkan wajah Aya, dosen judes yang sudah membuat kehidupan kampusnya semakin rumit.
“Eh tapi… mana mungkin mau si Biru nan suci ini, Lili yang sering godain aja dianggurin. apalagi cewek lain,” sahut Devan.
“Kalian udah pada tau kan? gue gimana? jadi nggak usah nyaranin yang aneh-aneh,” balas Biru, setelah meletakkan gelas di genggamannya dengan sedikit membanting. Lelaki itupun akhirnya menundukkan kepalanya, di atas meja.
“Mabuk lo baru dua gelas? lemah!” ejek Mario.
“Gue pusing mikirin skripsi, sebenarnya tadi itu hampir… hampir aja kelar, kalau gue bisa jawab teori mana yang gue pakai. Tapi karena revisi itu Lili yang kerjakan, tanpa infoin apapun ke gue, semuanya malah kacau,” keluh Biru lagi.
“Jadi lo nyalahin Lili?” tanya Devan.
“Iyalah, kenapa dia nggak kasih tau gue teori apa, jadinya gue nggak bisa jawab apapaun waktu si judes nanya-nanya.” Biru kembali duduk tegak, menegakkan kepalanya.
“Btw, kasihan banget si Lili.”
“Kasihan kenapa?”
“Kalian pacaran hampir tujuh tahun, tapi lo belum nyentuh dia sekalipun?” tanya Devan lagi.
Biru berkerut kening. “Lo tau dari mana?”
“Lili curhat ke gue, dia bingung sebenarnya lo cinta dia atau enggak?” Devan malah balik bertanya.
“Justru karena gue cinta, gue nggak mau rusak dia sebelum waktunya,” jelas Biru dengan tegas.
“Lagian, ngapain dia curhat ke lo segala?” tanya Biru tak suka.
“Ya mana gue tau, tanya aja sono ke pacar lo,” balas Devan dengan nada kesal.
“Ntar ya, gue mau nyoba ke cewek itu.” Mario tersenyum, lalu lelaki itu berjalan ke arah perempuan cantik, memakai dress berwarn hitam, memperlihatkan bentuk b****g dan belahan d**a.
“Hobi masuk ke lubang dan nebar bibit sembarangan, lo nggak takut apa kena penyakit?” Biru menggelengkan kepalanya melihat tingkah Mario. Mario dan Devan hampir sama, diantara mereka bertiga, hanya Biru yang tetap mempertahankan keperjakaannya, hanya untuk istrinya nanti entah Lili atau siapapun itu. Biarpun nakal, dia tetap akan memegang prinsip untuk yang satu itu. Dia tidak akan rela sesuatu yang berharga miliknya itu akan masuk ke sembarangan tempat apalagi pada perempuan-perempuan yang jelas-jelas pekerjaannya cukup hina seperti itu.
“Ah dari pada lo, main sama tangan mulu, mending one nigh stand, ayo dicoba!” ledek Devan lagi.
“Biar, sama tangan juga nikmat kok,” balas Biru, menolak keras one night stand seperti yang pernah dilakukan teman-temannya, lelaki itu memberikan gelasnya pada bar tender untuk menambah minumannya.
*
“Fix liburan kita gagal lagi nih?” Reva menatap Nania bergantian dengan Aya yang duduk di hadapannya siang itu. Aya baru saja bercerita tentang bagaimana malam itu, malam di mana dia dinner dengan Biru.
“Sabar, hari ini gue janjian ketemu si Biru lagi, dia janji revisi dengan sebaik mungkin hari ini,” jelas Aya.
“Cape deh!” sahut Nania.
“Udah deh, lo tinggal liburan aja tuh anak. Biar tau rasa.” saran Reva.
“Nggak bisa. Kita liburan kan dua minggu. Gimana nasibnya ntar kalau kelamaan, dia malah nggak bisa ikut wisuda tahun ini,” balas Aya. Meski kesal dengan Biru, dia masih juga memiliki rasa iba, sebagai dosen. “Dikit lagi kok, dia tinggal nambahin sumber teorinya aja di footnote, setelah itu kelar.”
“Oke, berarti bisa pesan tiket sekarang—“
“Jangan. Gue kan belum izin ke kampus,” tolak Aya. “Dan belum izin ke papa mama juga—“
Reva membuang napas kesal, melihat tingkah salah satu sahabatnya itu. “Hello Aya. Lo tuh bukan remaja lagi, bukan anak kecil, lo udah dewasa, janda, meskipun masih perawan—“
“Perawannya nggak usah dibawa-bawa bisa nggak?” Aya cukup kesal tiap kali Reva atau Nania membahas soal itu.
“Ya gimana, lo tuh unik, Ya. Janda tapi perawan.”
Aya langsung memasang wajah masam, sebenarnya dia muak karena tiap kali mereka berkumpul, pasti selalu saja membahas itu.
“Ya biarin,” sahut Aya sewot.
“Btw, lo nggak mau nyobain one night stand sama cowok? ya… minimal sama berondong gitu?” saran Reva, lalu wanita itu cekikikan.
“Sinting!” umpat Aya kesal.
“Ya, lo wajib cobain—“
“Nggak!” tolak Aya cepat. “Lo pikir hal begituan buat main-main? sorry, gue cuma kasih sesuatu berharga milik gue ini ke orang yang tepat, orang yang benar-benar mencintai gue, dan tentu orang yang gue cintai.”
Reva dan Nania saling tatap dengan seringai mengejek. “Tapi tiap ada cowok yang dekatin lo, pasti lo menghindari—“
“Nggak untuk saat ini.” Aya benar-benar masih trauma dengan masa lalu rumah tangganya yang amat menyakitkan. Maka untuk saat ini, menerima orang baru dan membuka hati lagi, dia cukup berhati-hati. Apalagi hanya untuk bermain-main, Aya sangat tidak punya waktu. Terlebih untuk menyerahkan mahkota yang amat berharga itu secara cuma-cuma dengan sembarang orang, oh tentu saja Aya belum segila itu.
“Oke, gue ke kampus dulu.” tepat dua jam lagi, adalah jadwal mengajar terakhir Aya untuk hari ini. Dia juga memiliki janji dengan Biru dan berharap hari ini adalah konsultasi terakhir mereka.
“Cepetan beresin urusan lo dengan Biru-Biru ya!” pinta Reva.
“Iya-“
“Atau lo sengaja lama-lamain biar sering ketemu dia?” Nania tertawa.
“Kalian ya benar-benar mulai nggak waras, apa karena sering ditinggal suami, LDRan jadi pada stres?” balas Aya kesal, wanita itu juga tak sungkan mengumpat dua sahabatnya. “j****y bikin kalian nggak bisa berpikir waras?”
Bukannya marah, Reva dan Nania malah kompak menertawakan. Tanpa peduli dua wanita j****y yang sering ditinggal suaminya untuk dinas ke luar kota, Aya terus melangkah menuju pintu cafe. “Eh, jangan lupa besok jadwal arisan kita!” teriak Reva.
“Oke!” Aya melambaikan tangannya.
*
Biru melambungkan asap dari mulutnya setinggi mungkin, setelah menghisap vape yang selalu menemaninya selama beberapa tahun terakhir ini. Dari kejauhan, dia memandang ke arah area parkir khusus dosen. Menunggu seseorang dengan perasaan jengkel sekaligus kesal karena khawatir skripsinya akan ada revisi lagi. Dari lantai dua, tidak hanya memandang ke area parkiran, lelaki itu juga mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru sudut area fakultas. “Tumben banget si judes nggak on time.” lelaki itu menggerutu, sambil menyugar rambutnya ke belakang.
“Iya, lama banget. Udah terlambat lima belas menit, bisanya dia nggak pernah gini, kan?” seseorang di sebelahnya menjawab, dengan nada yang sama kesalnya.
“Nontonnya bisa ditunda besok aja, nggak?” tanya Biru sambil menatap Lili, kekasihnya. Sore ini mereka memiliki janji untuk kencan, sekadar makan bersama dan nonton.
“Nggak mau. Aku kangen banget sama kamu-“
Biru masih mengedarkan pandangannya ke area parkir, dan bergantian ke arah lain. Sebab Aya, dosen pembimbingnya itu tidak pernah terlambat. Apa mungkin wanita itu lupa memiliki janji dengannya? atau ada sesuatu yang terjadi padanya? Biru bertanya-tanya dalam hatinya. “Eum, setiap hari kita ketemu, kamu nggak bosan?” Biru menanggapi kalimat Lili, setelah terdiam beberapa detik.
“Nggak lah. Nggak ada kata bosan kalau buat kamu—“
“Kamu tunggu di sini sebentar!” Titah Biru, meletakkan tas ranselnya tepat di sebelah Lili, lalu dia berjalan tergesa menuju tangga, untuk turun ke lantai bawah.
“Sayang, mau kemana?!” teriak Lili, dengan perasaan heran, kekasihnya pergi meninggalkannya begitu saja, tanpa mengatakan akan kemana. Lili hanya bisa pasrah, sampai akhirnya dia melihat sosok kekasihnya berlarian menuju area parkir dan menghampiri sebuah mobil berwarna hitam.
Penyelamat
“Lepasin! apa sih kamu?!” sentak Aya, dia baru saja keluar dari mobilnya. Moodnya masih belum membaik karena terjebak macet, tapi sore ini dia harus berhadapan lagi dengan suatu kesialan, yaitu bertemu mantan. Rico, lelaki yang resmi menjadi mantan suaminya sejak empat bulan lalu, kini kembali menemuinya untuk pertama kalinya. Sungguh jangankan disentuh, melihat wajahnya saja dia teramat jijik rasanya. “Tolong lepasin aku s****n!” maki Aya, ketika pergelangan tangannya dicengekeram sangat kuat oleh lelaki itu. Aya baru turun dari mobil, tapi langsung dihadang oleh Rico, yang memang sudah menantinya sejak beberapa menit lalu.
“Apa? s****n? Aya, sayang… aku benar-benar ingin meluruskan kesalahpahaman kita—“
“Kesalahpahaman apa?!” balas Aya dengan mata mendelik. Pertengkaran mereka terjadi di parkiran mobil khusus dosen, Aya dan Rico berdiri diantara mobil-mobil lain yang terparkir hingga jika tidak ada yang nemeprhatikannya secara detil, tidak ada yang tahu bahwa ada sepasang insan manusia yang sedang bertengkar. “Kesalahpahaman kita, aku nggak seperti yang kamu tuduhkan, aku dan dia hanya teman—“
“Teman tapi kalian tidur seranjang tanpa busana?! menjijikkan. Kamu memang manusia laknat!” maki Aya lagi dengan emosi yang cukup membara.
“Lepasin aku sekarang!” Aya mencoba menarik tangannya yang mulai terasa sakit dan tak nyaman karena genggaman Rico.
“Bu Aya, saya sudah menunggu Ibu terlalu lama.” ada suara asing diantara mereka berdua, membuat keduanya menoleh.
Biru. Gumam Aya dalam hati. “Lepasin, aku banyak urusan!” genggaman tangan Rico pada pergelangan tangannya akhirnya terlepas, Aya lega, karena kehadirian Biru yang menurutnya sebagai penyelamat tanpa sengaja.
“Urusan kita belum selesai, aku tunggu kamu di sini!” ucap lelaki bernama Rico itu lagi.
“Urusan kita selesai sejak putusan hakim di pengadilan agama empat bulan yang lalu!” balas Aya tanpa mau menoleh. Biru masih setia berdiri di sebelahnya. Mereka berjalan perlahan berisisan, Aya belum bisa melangkah cepat karena kedua lututnya masih terasa lemas, kehadiran Rico yang tiba-tiba membawanya kembali pada masa trauma di mana sakitnya dihianati. Sementara Biru di sebelahnya belum mengatakan apa-apa, dia hanya memperhatikan Aya yang sedang mengusap-usap pergelangan tangannya yang kemerahan.
“Maaf Bu, bukannya saya bermaksud kurang ajar. Tapi, dari lantai dua di balkon, saya udah memperhatikan dan memang menunggu kedatangan Ibu. Saya pikir Ibu butuh bantuan agar bisa terlepas dari mantan suami Ibu tadi,” jelas Biru tanpa diminta. “Bukannya saya berniat kurang ajar atau ingin membuat Bu Aya terburu-buru,” lanjut lelaki itu.
Aya menoleh ke arahnya sambil tersenyum tipis. “It’s okay, nggak masalah. Saya justru berterima kasih ke kamu, karena kehadiran kamu, akhirnya saya bebas dari dia.” Hampir seluruh penjuru kampus sudah tahu jika Aya adalah seorang janda yang sudah bercerai sejak beberapa bulan lalu. Namun, tak ada satupun yang tahu apa penyebab perceraiannya, termasuk Biru yang kini malah penasaran.
“Apa kamu terburu-buru?” tanya Aya.
“Sejujurnya sih iya, Bu. Sore ini saya ada keperluan,” balas lelaki itu. Ya, dia memang memiliki janji dengan Lili, mereka akan menghabiskan waktu berdua malam ini, walau hanya sekadar makan-makan dan nonton.
“Oke kalau begitu langsung ke ruangan saya aja.” Sore ini, urusan Aya di kampus memang hanya bertemu dengan Biru, karena lelaki itu berjanji akan menyerahkan skripsinya yang telah direvisi. Sungguh Aya berharap urusannya dengan lelaki itu benar-benar beres hari ini. Aya menoleh ke belakang sebelum menaiki tangga, memastikan apakan Rico sudah pergi meninggalkan kampus atau masih berada di sana. s**l sekali, mobil lelaki itu masih terparkir manis di sana. Entah apa yang diinginkan Rico lagi, Aya juga tidak mengerti.
Dari lantai dua juga, ada yang terus memperhatikan mereka berdua, siapa lagi kalau bukan Berliana Cassandra alias Lili kekasih Biru. Gadis itu melipat kedua lengannya di d**a, menatap kesal pada kekasihnya yang terlihat bersikap sok manis pada dosen cantik dan janda itu.
Tanpa sadar, Biru menemani langkah Aya hingga di lantai dua dan tepat di depan ruangan wanita itu. “Sayang, sebentar, ya, aku ke dalam dulu,” ujarnya pada Lili yang masih memasang tampang merengut.
Lili mengangguk tipis sebagai jawaban dari ucapan Biru, dia masih duduk dengan tegak dan dagu terangkat, bahkan tidak memasang tampang ramah ketika berpapasan dengan Aya. Meski Lili sudah sarjana dan sudah menyelesaikan urusannya di kampus ini, bagaimanapun Aya tetaplah seseorang yang pernah menjadi dosennya. Tak seharusnya Lili bersikap seperti itu. Tapi hal itu bukanlah suatu masalah bagi seorang Aya. Tidak disukai oleh mahasiswi, sudah menjadi hal bisa baginya. Dia tak mau ambil pusing untuk hal-hal remeh seperti itu.
“Silakan duduk dulu.” Pinta Aya pada Biru, lalu meneguk air putih dari tumbler yang ada di dalam tasnya, kerongkongannya terasa kering dan tercekat sejak bertemu Rico. Selain karena kebencian yang begitu dalam, bertemu Rico lagi benar-benar membuat perasaannya berantakan.
“Ibu baik-baik aja, kan?” Biru menangkapn raut wajah pucat dari wanita di hadapannya.
“Iya saya nggak apa-apa kok,” sahut Aya mencoba menenangkan dirinya.
“Tangan Ibu memar.” Lelaki itu berkomentar saat melihat pergelangan tangannya, yang mulai merah kebiruan, sangat jelas terlihat karena kontras dengan warna kulit Aya.
“Oh, bukan masalah.” Aya langsung menyembunyikan tangannya di bawah meja. Dia hanya tak ingin dikasihani, apalagi ini masalah pribadinya dengan Rico. “Ya udah, biar nggak memakan waktu lama. Mana hasil revisi kamu?” tanya Aya dengan nada santai. Baru kali ini mereka berdua terlibat obrolan yang lumayan santai, tidak ada emosi atau perdebatan di dalamnya seperti biasa saat Biru melakukan konsultasi.
“Ini Bu.”
“Saya periksa, ya.” Aya mengambil puluhan lembar kertas itu, beralih ke tangannya membukanya satu persatu. “Kalau ada yang masih belum pas, atau belum cocok menurut saya… maaf Biru, kamu tetap harus revisi. Yang saya lakukan ini adalah demi kebaikan kamu. Bukan berarti saya benci atau nggak suka dengan kamu, tapi saya hanya ingin menyelamatkan kamu dari dosen penguji. Kalau skripsi kamu sudah sempurna, tentu mereka nggak punya celah untuk menjengkali kamu, kan?” Aya mencoba memberi penjelasan yang cukup masuk akal.
“Iya benar Bu,” sahut lelaki itu.
Sekitar sepuluh menit sudah mereka duduk diam dalam keheningan tanpa ada obrolan karena Aya masih sibuk dan konsentrasi memeriksa skripsi lelaki itu.
“Nah ini…” Aya tersenyum. “Teori yang kamu tambahkan memang sudah benar, tapi penjelasannya masih rancu, Biru.” Aya menunjuk pada salah satu lembaran yang baru dibacanya. “Bisa kamu sederhanakan lagi?” pinta Aya dengan nada lembut.
Biru mengangguk. “Bisa Bu, ada lagi?”
“Sebentar.”
Biru mengangguk dan menunggu dengan sabar.
“Ini, di halaman ini coba kamu cek lagi, ada beberapa bagian yang typo di sana. Selebihnya udah, semoga pertemuan selanjutnya saya bisa langsung acc ya. Kamu juga pasti bosan ketemu saya terus, begitu juga sebaliknya.” Aya tersenyum tipis.
Sedangkan Biru tersenyum lebar. “Nggak, saya nggak bosan ketemu Ibu.”
“Ya udah, kamu boleh pergi, dan temui saya satu minggu lagi—“
“Apa Bu?! seminggu lagi? nggak bisa dipercepat, Bu? saya sangat berharap kalau saya bisa ikut sesi sidang skripsi di bulan ini, karena setelah sidang, saya akan berangkat ke Singapura—“
“Maaf Biru, nggak bisa. Saya ada keperluan selama beberapa hari ke depan, dan mungkin saya nggak ada di kota ini.” tegas Aya. Ya, dia sudah mulai jenuh dan merasa harus beristirahat sejenak. Walau liburannya bersama dia sahabatanya selalu gagal, setidaknya Aya hanya perlu staycation di kota ini saja. Apalagi setelah bertemu Rico hari ini, membuatnya benar-benar ingin menghilang untuk sementara waktu.
“Oke kalau begitu, Bu. Minggu depan saya temui Ibu lagi.” Meski kecewa dengan keputusan Aya, Biru tetap bersikap santai.
“Sama halnya dengan kamu yang ingin segera mengakhiri urusan dengan saya, saya juga demikian, Biru.” tegas Aya sekali lagi.
“Iya Bu.” Lelaki itu melangkah dengan perasaan kecewa, menghampiri Lili yang masih setia menunggunya di luar ruangan.
“Gimana sayang?” tanya gadis itu.
“Minggu depan masih harus ketemu lagi. Ada beberapa bagian yang masih perlu aku perbai—“
“Gila ya itu dosen, apa dia sengaja—“
“Sstt!” Biru segera membekap mulut Lili dengan telapak tangannya. “Hati-hati, jaga bicara kamu. Orangnya masih di dalam ruangan.” Biru memperingati.
“Udah deh, mending kita senang-senang dulu!” Gadis itu meraih lengan Biru untuk dipeluknya. “Btw kenapa harus minggu depan? nggak bisa besok?”
“Bu Aya ada keperluan.”
“Jadi keberangkatan kamu ke Singapura ketunda lagi dong? kalau kamu bisa Acc dalam minggu ini, tentu bisa ikut sesi sidang bulan ini. Tapi kalau enggak ya, mau nggak mau tetap sebulan lagi.” komentar Lili.
“Ya mau gimana, udah resiko.”
Saat menuruni anak tangga, mata Biru tertuju pada sebuah mobil yang dia ketahui adalah mobil Rico. Lelaki itu membuktikan kata-katanya, masih menunggu Aya di sana. Entah didorong oleh perasaan apa, Biru mendadak khawatir. Mengingat bagaimana sikap kasar lelaki itu pada Aya, hingga meninggalkan luka memar di pergelangan tangannya.
Biru dan Lili berjalan menuju mobil. “Kamu tunggu di sini sebentar, duduk diam di sini jangan kemana-mana, oke?!” tegas lelaki itu pada kekasihnya setelah Lili duduk di dalam mobil sport miliknya.
“Emangnya kamu mau kemana?” tanya Lili sedikit tak terima, karena sifat kekasihnya mendadak aneh hari ini.
“Sebentar!” Biru mencampakkan asal tasnya di bagian jok belakang, lalu melangkah pergi dengan tergesa. Apalagi kalau bukan kembali naik ke lantai dua, menuju ruangan Aya. Bisa saja, dosennya itu butuh bantuan untuk kedua kalinya hari ini?
Sementara Aya masih berdiam diri di dalam ruangannya, padahal niatnya ingin langsung pulang setelah urusannya selesai. Namun, dia tidak berbuat nekat karena takut Rico masih menunggunya. Aya kebingungan, dan yang dia lakukan adalah menjatuhkan air mata sebanyak-banyaknya, berhubung di dalam ruangan itu hanya ada dia seorang. Hingga suara ketukan pintu perlahan, membuatnya tersadar dan segera mengusap air mata yang berderai di pipinya. Tapi tubuh Aya semakin bergetar, mengingat Rico. Bisa saja, itu adalah mantan suaminya. Karena dulu Rico sering menjemputnya sampai ke ruangannya, bukan tidak mungkin lelaki itu melakukan hal yang sama, kan? Aya melirik sekeliling, dia bangun meraih tasnya dan akhirnya memutuskan untuk bersembunyi di kamar mandi.
Tepat saat dia mengambil satu langkah, pintu terbuka membuat wajahnya kian memucat.
“Bi-biru, ada apa? ada yang ketinggalan?”
Lelaki itu tersenyum manis. Melihat bagaimana wajah panik Aya, dia semakin paham kalau wanita ini memang membutuhkan bantuannya. “Iya, ada yang ketinggalan. Kayaknya saya nggak bisa meninggalkan Ibu sendirian di sini. Ayo saya antar sampai ke mobil, Bu.” Ajakan lelaki itu mengakibatkan Aya mengerjapkan matanya, kebingungan. Lagi, Biru seakan menjadi penyelamatnya sore ini.
Hanya Memanfaatkan Situasi?
1133 Kata
Khawatir terhadap sesama manusia, menurut Biru, rasa empati yang demikian pasti dimiliki oleh setiap manusia yang memiliki akal sehat. Termasuk pada dirinya saat ini. Kepeduliannya terhadap si dosen judes, tentu hanya sebatas rasa kemanusiaan.
“Ayo Bu!” ajak Biru saat melihat tidak ada pergerakan dari Aya. Sebab wanita itu masih berdiri bak membeku di tempatnya, ponsel yang dipegangnya juga sempat jatuh di lantai, lantaran masih terkejut karena pintu ruangannya terbuka tiba-tiba.
“Ngg… nggak apa-apa, Biru. Saya sendiri aja. Lagipula, kamu kan terburu-buru. Nanti saya turun sendiri—“
“Tapi mantan suami Ibu masih menunggu Ibu
di mobilnya. Apa Ibu mau pergelangan tangan atau bagian tubuh Ibu yang lain memar lagi? jangan terlalu banyak berpikir, cepat saya antar sampai ke mobil!” Biru seakan memberi titah, dan mendikte Aya dengan nada yang cukup tegas, lelaki itu tidak peduli dengan siapa dia berbicara. Toh apa yang dia katakan juga untuk kebaikan Aya.
Aya menelan salivanya kasar, kepalanya terasa pening mendadak. Yang Biru katakan tidak ada yang salah, mengingat bagaimana perlakuan Rico padanya barusan, Aya jadi merinding, hingga dia mengangguk singkat menyetujui perkataan Biru. Mengapa keadaan jadi terbalik? Jadi Aya yang menuruti titah lelaki itu.
“Iya,” sahut Aya singkat lalu melangkah pelan setelah mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai.
Dengan sabar Biru menunggu wanita itu keluar dari ruangannya. Mengiringi langkah Aya yang tidak bisa cepat, Biru berjalan dengan pelan, tanpa peduli ponselnya yang terus berdering sejak tadi. Dia tahu itu pasti Lili. Sudah pasti wanita itu bertanya-tanya apa yang dia lakukan kembali naik ke lantai dua.
Tanpa berani menatap ke arah di mana mobil Rico terparkir, Aya terus fokus berjalan menuju mobil miliknya. Aya merasa cukup s**l karena mobilnya terpakir dengan jarak beberapa meter saja dari mobil Rico.
“Aya!” suara itu memanggilnya tepat saat Biru membukakan pintu mobil untuk Aya, setelah Aya menekan remot mobilnya.
“Biru… tolong saya,” lirih Aya tanpa sadar dia seperti setengah memohon pada mahsiswanya itu. Sebab, hanya Birulah yang bisa dia andalkan saat ini, tidak ada yang lain.
“Ibu masuk dan kunci pintunya, cepat, lalu langsung pergi dari sini. Biar saya yang hadapi!” titah Biru, Aya masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi tanpa berpikir panjang. Dia menekan tombol yang menjadikan semua pintu terkunci secara otomatis.
“Kenapa lo ikut campur urusan gue?” tanya Rico geram, merasa lelaki muda di hadapannya ini sangat sengaja menghalang-halanginya bertindak untuk bertemu Aya.
“Bu Aya sedang kurang sehat, jadi biarkan beliau pulang,” jawab Biru santai.
“s****n!” maku Rico lalu pergi meninggalkan Biru saat melihat mobil Aya perlahan bergerak meninggalkan area parkir.
“Pak, tunggu!” sekali lagi, Biru mencoba menahan lelaki itu agar Aya pergi menjauh dan Rico tidak bisa mengikutinya.
“Apalagi? gue nggak punya urusan sama lo-“
“Kita belum kenalan, Pak.” Biru masih santai menghadapi Rico.
“s**t!” maki Rico tanpa mempedulikan Biru, lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya.
“Urusan apa sih kamu sama si judes?!” Lili yang sudah menunggu Biru terlalu lama, merasa ada yang tidak beres hingga akhirnya gadis itu memutuskan untuk keluar dari mobil dan menghampiri kekasihnya yang sikapnya mencurigakan. Lili langsung menarik lengan Biru untuk menuju mobil.
“Nggak ada, aku cuma nolongin dia dari bahaya mantan suami—“
“Bukan urusan kamu, mau bahaya kek apa kek, heran banget deh!” gerutu Lili kesal.
“Memang benar bukan urusan aku. Tapi paling nggak, aku nolongin dia supaya hatinya luluh dan urusanku cepat kelar. Kamu mau nikah kita dipercepat, kan?” Biru berkilah, meski yang dia katakan tidak ada yang salah. Melukuhkan hati seorang dosen yang terkenal judes dan sering mempersulit urusan mahasiswa.
“Ya… iya sih. Tapi nggak usah berlebihan juga. Kalau dia baper gimana?”
Biru kantas tertawa mendengar pertanyaan Lili. “Konyol banget pertanyaanmu. Mana mungkin dia baper hanya karena tindakan sederhana begitu.”
“Jangan salah. Dia janda yang mungkin haus belaian,” ucap Lili secara tak langsung mengumpat Aya.
“Udah, nggak usah bahas itu lagi. Sekarang jadi pergi nggak?”
“Oh tentu jadi dong!” sahut Lili dengan semangat, langsung menyandarkan kepalanya di pundak sang kekasih.
*
“Anak Mama kenapa?” Aya baru masuk keluar dar mobilnya yang terparkir di halaman rumah, langsung disambut oleh mamanya yang saat itu sedang menyiram tanaman. Melihat wajah pucat dan merengut anak perempuannya, langsung bertanya-tanya.
“Tadi… Aku ketemu Rico, Ma-“
“Ketemu di mana?”
“Dia datangin aku ke kampus.” Aya menghampiri sang mama dengan suara bergetar.
“Buat apa?”
Aya menggeleng. “Aku juga nggak tau, Ma.”
“Itu tangan kamu?”
Aya langsung menyembunyikan tangannya di balik saku blazer yang dikenakannya.
“Itu karena dia?”
Aya mengangguk. “Dia maksa aku masuk ke mobilnya. Dia narik tangan aku Ma, terlalu kuat sampai memar begini,” jelas Aya.
Wanita paruh baya bernama Miranda itu membuang napas berat. “Kalau Papamu tau, beliau pasti marah besar. Mau apa lagi sih, laki-laki nggak berguna itu?” geram Miranda.
“Katanya dia mau jelasin sesuatu tentang kesalahpahaman—“
“Ah kesalahpahaman apalagi? Semuanya udah terbukti. Ya udah sana kamu masuk kamar, istirahat. Oh iya, jadi kamu tadi sempat masuk ke mobilnya? terus gimana kamu bisa keluar dari sana? kamu nggak diapa-apain, kan?” tanya sang mama penasaran.
Aya menggeleng. Pikirannya langsung terlintas lelaki bernama Biru yang telah membantunya hari ini. “Aku beruntung karena mahasiswa bimbingan aku nyamperin kami, dan aku belum sempat masuk ke mobilnya. Kalau sampai aku masuk ke sana, mungkin bisa aja dia berbuat nekat. Sampai setelah urusanku selesai dengan mahasiswaku, ternyata dia masih nungguin aku, Ma. Tapi untung aja mahasiswaku itu temanin aku sampai aku masuk ke mobil dan benar-benar pergi.” Aya menceritakan sedara detil pada mamanya dan dia tak bisa menahan air matanya lagi.
“Udah sayang… udah. Semoga kamu mendapat pengganti yang lebih segala-galanya dari dia. Baik sekali mahasiswa kamu itu, siapa namanya?” Miranda langsung memberi pelukan pada sang anak semata wayangnya.
Baik? ya mungkin dia baik karena ada maunya, yang pasti supaya aku merasa berhutang budi, lalu mempermudah urusannya. Apalagi kalau bukan hanya azas manfaat? Aya membatin. Rasanya masih belum terima saat sang mama mengatakan seorang lelaki bernama Biru itu baik, padahal yang dia tahu cukup menyebalkan. Aya yakin Biru hanya memanfaatkan situasi saja, berbuat baik padanya.
“Eum, namanya Biru, Ma,” jawab Aya jujur.
“Oh cowok ya?”
“Iya Ma.”
“Ya udah, sekarang masuk ke kamar, isitrahat, ya.”
“Hm, iya Ma. Mama juga, udah mau maghrib. Ayo masuk.” Ajak Aya.
Bicara soal pengganti? tentu saja Aya masih trauma memulai dan merajut kembali hubungan percintaan. Masa lalu kelam dan sakit hati serta rasa ilfeelnya terhadap seorang laki-laki, masih belum hilang dan amat membekas di pikiran hingga hatinya.
Rencana Staycation
1568 Kata
“Parah sih, mantan lo itu. Jelas-jelas dia yang salah, bikin kesalahan yang menjijikkan pula. Ampun banget, masih pede lagi ngejar-ngejar lo dengan alasan meluruskan kesalahpahaman.” Nania berkomentar setelah mendengar curhatan Aya di dalam mobil. Binar Cahaya Mustika tidak bisa melewatkan satu hal apapun yang dia alami untuk tidak diceritakan oleh dua sahabatnya itu, termasuk hal menyebalkan yang dia alami dua hari lalu berkaitan dengan lelaki di masa lalunya.
“Sampai bikin tangan lo memar pula. Kalau gue ada di sana, udah gue tendang tuh di tengah selangkangannya,” timpal Reva sambil menyetir.
Aya hanya terkekeh saja mendengar gerutuan-gerutuan dua wanita itu. Ya, walau sedikit trauma dengan kejadian dua hari lalu, setelah bertemu Reva dan Nania, Aya merasa sedikit lega, seolah bebannya terlepas, walau masih tetap membekas.
Kini mereka bertiga sedang berada di mobil yang sama. Kali ini Aya sedang enggan menyetir sendirian, maka wanita itu memilih menjadi penumpang saja. Menggunakan mobil Reva, mereka sedang menuju sebuah cafe, tempat di mana acara arisan akan diselenggarakan. Tempat sudah dibooking oleh beberapa teman mereka yang merupakan panitia acara.
“Tapi sebenarnya… Biru loh yang nolongin gue.” Aya akhirnya menyebutkan nama lelaki itu, setelah sempat menutupi siapa yang menolongnya saat Rico hampir memaksanya masuk ke dalam mobil.
“What? Biru?” tanya Reva dengab nada tak percaya.
“Maksud lo, si Biru-Biru mahasiswa abadi itu?” sambung Nania.
Aya mengangguk. “Hm, iya.”
“Fix azas manfaat. Pintar tuh anak,” sahut Nania.
“Ya, kebetulan sih dia nungguin gue sore itu. Mungkin karena nggak sabar gue terlalu lama, dia nyamperin ke parkiran dan kebetulan gue lagi sama Rico. Secara nggak langsung, dia yang selamatkan gue dari Rico,” jelas Aya.
“Tumben ya dia berguna,” seru Reva.
“Ya begitulah.” Aya kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Saat ini dia menempati jok bagian belakang, sendirian.
“Jadi skripsi dia udah lo acc kan? makanya lo bisa cuti?” tanya Nania.
“Belum,” sahut Aya santai.
“Aduh, lo nggak bosan apa ketemu dia melulu, Ya?” sambung Reva.
“Ya bosanlah. Gue cuma nggak mau nanti saat sidang, malah malu-maluin di depan penguji. Kan gue juga yang malu. Dianggap doping nggak becus. Belum lagi Bu Indira sensi banget lagi sama gue. Nggak ngerti salah gue apa.” keluh Aya.
“Yang pasti dia kalah cantik dari lo.”
“Jauh lah, cantikan dia,” balas Aya. “Dia tinggi, bodynya bagus, mukanya juga perfect.”
“No, no… jauh cantikan lo, walaupun lo mungil. Tapi hot, bibir lo tuh Ya, bikin cowo sange tau nggak?!” Nania dan Reva kompak tertawa.
“Ish apa sih?!” protes Aya.
“Gue masih ingat banget, teman kantor gue waktu pertama kali ketemu sama lo, masa dia langsung mau ngajak lo kencan. Karena gue tau gimana sifat aslinya, yang paling nggak bisa lihat cewek cantik. Sampai matipun gue nggak akan kasih nomor lo ke dia. Lagian, dia bukan cowok tajir,” cerocos Reva.
“Iya bener banget, Ya. orang-orang perlu ngeluarin duit buat filler bibir, supaya makin seksi. Lah lo punya alami sejak lahir,” timpal Nania tak mau kalah.
“Udah deh, stop bahas fisik gue. Bahas yang lain aja,” ucap Aya kesal.
“Misalnya bahas apa?” tanya Reva.
“Gue berharap banget ya, kali ini gue yang dapat arisannya,” ujar Aya penuh harap.
“Emangnya lo mau liburan?”
“Nggak mesti liburan, sih, paling nggak staycation di Jakarta juga boleh. Penat banget,” curhat Aya.
“Hm, jadi rencana jalan-jalan kita benar-benar gagal, ya?” tanya Nania penuh kecewa.
“Sorry banget, kayaknya masih harus tertunda,” sahut Aya.
“Btw, lo… sebenarnya udah move on belum sih, dari Rico?”
“Gue benar-benar ilfeel dan mati rasa sama dia, atau mungkin sama semua cowok, sejak gue nemuin foto selfinya tanpa busana, di atas ranjang, sama teman cowok bulenya itu.” Aya bergidik ngeri. Merinding mengingat hal itu. Betapa sakit hatinya ternyata menjalin hubungan dengan Rico selama tiga tahun, dia hanya dijadikan sebagai tameng saja, padahal lelaki itu memiliki kekasih lain, yang juga seorang pria.
“Hiii… jijik ya shay!” Nania pun mengangkat bahunya.
“Udah deh, jangan bahas itu lagi. Gue ngerasa jadi cewek nggak berguna sejak tau hal itu. Sakit banget, kenapa dia nggak nyentuh gue padahal udah nikah berbulan-bulan, ternyata…”
“Cari brondong yuk?” ajak Reva.
“Sinting lo ya? ingat suami,” balas Aya.
“Bukan, bukan buat gue. Tapi buat lo.”
“Sorry, nggak dulu,” tolak Aya cepat.
“Hahaha.” Reva dan Nania saling tatap setelah mereka tertawa lebar.
*
Sesuai harapan, arisan kali ini dimenangkan oleh Aya. Aplikasi yang menyala pada ponsel salah satu dari peserta arisan, menunjukkan tanda panah pada nama wanita itu. “Emang ya, rejeki janda perawan,” bisik Nania penuh ejekan.
“Sesuai harapan lo, Ya. Bisa nih happy-happy.”
“Alhamdulillah.” Aya bergumam senang, menganggap apa yang dia dapatkan kali ini adalah rejeki nomplok. Bukan hanya hadiah tiket liburan, ataupun menginap di hotel mewah saja, tapi juga sejumlah uang sekitar dua puluh juta. Jumlah yang cukup lumayan bagi Aya yang profesinya hanya seorang dosen. Ya, hitung-hitung arisan yang dia ikuti bersama teman-temannya semasa kuliah ini dia anggap sebagai menabung, dari pada gajinya habis hanya untuk berfoya-foya tidak jelas.
“Berarti lo jadi staycation, Ya, cuma di Jakarta aja, kan?” tanya Reva lagi.
Aya mengangguk. “He’em. Benar banget. Kalian mau ikut?” tawar Aya.
“Enggak usah deh kayaknya, laki gue minggu ini pulang ke Jakarta,” tolak Reva.
“Sama, laki gue juga ngajak ke puncak weekend kali ini. Mumpung dia ada waktu,” sahut Nania.
“Oke kalau begitu. Kalian have fun yah.”
“Tapi besok kita wajib ketemuan dulu, sebelum kita punya urusan masing-masing.” Saran Reva.
“Boleh, besok aku traktir kalian makan malam,” sahut Aya.
“Besok sore kalau lo udah check in, shareloc aja lo ada di hotel mana, Ya. Ntar kita nyusul. Kita bisa duduk di bar and loungenya, oke?”
“Oke sip. Yang penting… gue izin dulu deh sama Mama Papa.”
“Oh iya, itu yang paling penting. Lo kan anak perawan kesayangan mereka.”
“Hush. Perawannya nggak usah dibawa-bawa bisa kali, ya?”
“Bercanda, cantik.” Reva menyentuh dagu Aya. Dan mereka berpisah karena Aya memiliki tujuan lain setelah ini.
*
“Oh, jadi ceritanya kamu lagi melakukan suap ke Papa dan Mama, karena kamu mau minta izin staycation?” Sambil membuka paper bag dari Aya, Ilham menatap curiga pada anak perempuannya yang kini sedang duduk di hadapannya.
“Iya kamu nih, tumben-tumbenan lho, belikan Papa Mama hadiah, padahal nggak lagi ada hari spesial,” sambung Miranda, juga membuka gift box yang berisi sebuah kerudung segi empat, branded yang baru dibelikan Aya untuknya.
“Bukan, bukan suap lho Pa, Ma. Kebetulan aku lagi ada rejeki, dapat uang arisan. Ya, apa salahnya belikan Papa Mama hadiah walau ini bukan hari spesial,” jawab Aya penuh pembelaan. Sambil menyerahkan hadiah untuk kedua orang tuanya, Aya sempat menyinggung soal rencana staycationnya itu. Tapi belum meminta izin secara langsung.
“Bagus juga motif batiknya,” gumam Ilham setelah membentangkan kemeja bermotif batik yang Aya pilihkan untuknya.
“Papa suka, kan?”
Ilham mengangguk. “Suka. Terimakasih, Nak.”
Aya tersenyum, sepertinya rencananya akan berjalan mulus. Papa yang overprotective sering kali membuat jejak langkah Aya tertahan. Padahal, andai diberi izin, Aya ingin pergi liburan ke berbagai tempat yang ada di negeri ini. Menginjakkan kaki di Bali saja dia baru satu kali saat berusia sepuluh tahun, itupun karena menghadiri acara keluarga di sana. Selebihnya? Aya hanya berada di kota ini saja, bagaikan katak dalam tempurung.
“Kalau Mama, suka nggak sama jilbabnya?” kali ini tatapan Aya beralih pada Miranda.
“Suka, bagus ini buat kondangan. Makasih sayang.”
“Sama-sama Ma. Aku senang banget Mama dan Papa suka hadiahnya,” sahut Aya. “Jadi… boleh kan, Pa? besok aku staycation di hotel, dua malam, aja?” Aya langsung to the point pada tujuannya, membuat Ilham dan Miranda saling tatapan.
“Nah, dugaan Papa nggak salah, kan? kamu lagi nyogok.”
“Ish Pa… nggak gitu kok. Ya, mau aku belikan hadiah ataupun enggak, aku kan tetap harus minta izin sama Papa?”
“Iya, boleh kok,” sahut Miranda.
“Mama ngizinin?“ tanya Ilham yang sebenarnya memiliki pikiran yang tak sejalan dengan istrinya. Membiarkan Aya, anak perempuannya yang berstatus janda tapi perawan, menginap di hotel sendirian, hanya untuk alasan staycation, menikmati fasilitas hotel, rasanya tidak masuk akal.
“Aya pasti penat dengan pekerjaannya, biarlah dia menikmati waktunya sendiri, tanpa memikirkan pekerjaan. Kamu harus terus bahagia, Nak. Yang penting jangan lupa salat.” Berbeda dengan Ilham, Miranda justru bisa sedikit memberikan kebebasan tapi tetap berada dalam pengawasan mereka. Apalagi dia ingat, beberapa hari lalu Aya sempat syok dan traumanya kembali lagi karena bertemu mantan suaminya yang tidak berguna itu.
“Ya udah, kali ini Papa ngizinin, karena Mama juga ngizinin. Kamu perginya besok, dan akan kembali di hari minggu, kan? hanya dua malam, kan? yang penting tetap beri kabar ke kami, ya? paham, kan, Nak?” pinta Ilham, begitu cerewet jika sudah tentang Aya.
“Iya Pa, Ma, tenang aja.” Aya tersenyum senang merasa mendapatkan izin, setidaknya dia bisa merilekskan pikirannya sejenak, melupakan segala hal yang membuatnya pusing akhir-akhir ini, sebelum dia harus kembali dihadapkan dengan sebuah kenyataan.
Pertemuan Tanpa Sengaja
Dengan bermodal satu backpack berisi pakaian dan perlengkapannya yang lain, siang itu Aya berpamitan dengan kedua orang tuanya untuk staycation sesuai rencananya. Suasana hatinya cukup bagus saat ini. Bagaimana tidak, satu minggu saja terbebas lepas dari beban pekerjaan, sudah cukup bagi Aya untuk menenangkan pikirannya yang penat. “Pokoknya jangan lupa kabarin Mama dan Papa setiap waktu, oke?” pinta Miranda pada anaknya sebelum Aya masuk ke dalam mobilnya.
“Iya Ma, tenang aja.” Saat itu hanya ada mama tanpa ada Papa karena Papanya sedang bermain tenis dengan rekan-rekannya. Sebagai seorang pensiunan pejabat BUMN, Ilham mencari kegiatan bermanfaat yang bisa mengisi hari-harinya.
“Bye, Mama. Assalamualaikum.” Mobil honda jazz silver keluaran tahun 2020 itu melesat keluar dari gerbang. Lagu Bruno Mars berjudul Vercase On The Floor menemani awal perjalanan Aya siang itu.
“Oh, I love that dress but you were need it anymore, no you were need it no more, lets just kissed ‘till we’re n***d baby, vercase on the floor.” Wanita itu melantunkan lirik, seirama dengan lagu yang sengaja dia besarkan volumenya. Jari jemari Aya juga menari-nari sambil menggenggam stir. Suasana hati Aya yang begitu baik cukup ditandai dengan suaranya yang mendayu merdu menyanyikan lagu kesukaannya. Lagu Bruno Mars yang liriknya sedikit v****r itu, menjadi salah satu lagu favorite yang sering Aya dengarkan.
Tanpa terasa, sambil mengemudi dengan riang gembira. Aya tiba di area parkir hotel bintang lima di kota itu. Aya memilih harga kamar yang menurutnya masih masuk akal, tapi fasilitasnya tidak perlu diragukan lagi. Mengeluarkan budget sekitar tujuh juta untuk dua malam. Meski terkesan buang-buang uang, tapi menurut Aya ini cukup penting demi menjaga kesehatan mentalnya.
“Atas nama Binar Cahaya Mustika?” dengan ramah, salah satu resepsionis yang melayaninya, bertanya pada Aya.
“Benar,” sahut Aya.
“Baik, Bu. Silakan menikmati fasilitas di hotel kami. Jangan sungkan menghubungi jika butuh bantuan.”
Aya mengangguk. “Terima kasih.” keycard nomor sudah berada dalam genggamannya, wanita itu melebarkan langkahnya karena tak sabar untuk segera tiba di dalam kamar.
“Ampun, viewnya bagus banget.” Aya bergumam ketika langkah kakinya memasuki kamar pilihannya. Dia meletakkan backpack dan tote bagnya di atas meja. Lalu beralih pada jendela lebar di kamar itu. Aya tersenyum puas, sambil berjalan menuju kamar mandi. Mengecek fasilitas apa saja yang ada di sana. “Wow. Bisa berendam sambil memandangi langit Jakarta.” Aya merasa puas, setelahnya dia berbaring di ranjang berukuran king size yang sebenarnya agak mubazir jika dia gunakan sendirian.
Gue di hote ini.
Wanita itu mengirim pesan singkat ke grup chat yang beranggotakan dirinya, Nania dan Reva.
Reva
Oke, ntar malam gue dan Nania ke sana.
*
Dress longgar di bawah lutut berwarna hitam dengan kerah model sabrina, menjadi pilihan outfit Aya malam ini. Memang sedikit terbuka di bagian pundaknya yang putih halus, sangat kontras dengan warna gelap yang dipakainya malam ini. Sesekali Aya ingin berpenampilan girly. Biasanya dia menggunakan jeans, yang dipadu dengan kaos ataupun kemeja, kali ini berbeda. Make up tipis ala-ala natural juga sudah menghias di wajah manisnya. Bibir sexy juga merah, lembab dan merona karena liptint yang dia poleskan di sana. Jika biasanya Aya membiarkan rambut yang panjangnya hanya sebatas bahu itu tergerai, kali ini dia mengikatnya sedikit tinggi, dengan poni tipis menghias di depannya. Penampilan Aya persis seperti anak kuliahan, sama sekali tidak terlihat seperti seorang dosen yang usianya hampir mendekati kepala tiga. “Ah iya, parfum.” Aya tak lupa menyemprotkan parfum di berapa titik tubuhnya termasuk leher. Malam ini, dia janjian dengan Reva dan Nania, bertemu di bar and lounge di hotel itu untuk sekadar makan malam.
Kebetulan bar adn lounge menempati lantai tertinggi di hotel ini, Aya menekan tombol lift yang menandakan panah ke atas dengan sabar dia menunggu lift sampai terbuka.
Ting
Langkah Aya sempat terhenti melihat siapa sosok rupawan yang ada di dalam sana. Dia sempat menelan kasar saliva yang seakan tersangkut di kerongkongannya.
“Bu Aya?” sapa lelaki di hadapannya dengan ramah. Biru sempat tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tapi hatinya berkilah jika dia terpesona dengan penampilan dosen pembimbingnya malam ini yang sangat jauh berbeda dari biasanya.
Cantik, tapi tetap aura judesnya nggak bisa hilang. Biru memuji dalam hati, lalu setelahnya mengumpat. Dua hal yang dia lakukan secara bersamaan.
“Bi-Biru, kamu duluan aja.” Aya mengurungkan niatnya, cukup enggan berada dalam satu lift dengan lelaki itu.
Tapi bukannya menuruti pinta Aya, lelaki itu dengan beraninya menarik sebelah tangan mungil wanita di hadapannya. Hingga terpaksa Aya ikut masuk ke dalam sana dan kini dia berdiri tepat di sebelah lelaki berpenampilan santai itu. Biru mengenakan kaos polos berwarna hitam, serta celana jeans. Warna outfit mereka juga senada. Aroma parfum khas laki-laki juga mulai terasa di penciuman Aya.
Sial, nggak di kampus. Di luar kampus juga ketemu dia. Apa kota Jakarta yang luas ternyata semakin sempit? Aya mengeluh dalam hati.
“Maaf kalau saya lancang, saya tau Ibu Dosen saya, tapi sekarang kita bukan berada di kampus dan kebetulan bertemu di sini. Lantai berapa?” Lelaki itu berucap cukup santai meski telah meminta maaf pada Aya.
sedangkan Aya berusaha mati-matian menetralkan degup jantung yang berdebar cepat tak meenntu tanpa sebab yang jelas.
“Lantai berapa ya?” Pikiran Aya mendadak blank.
“Ibu mau ke mana?” tanya Biru lagi, menatap lekat pada wanita yang tingginya hanya sedikit melewati pundaknya.
“Bar and lounge,” sahut Aya dengan nada tegas.
“Oke kebetulan, tujuan kita sama.” Biru tersenyum tipis, lalu membiarkan pintu lift tertutup.
Sama? Aya bertanya dalam hati. Lagi dia menggerutu, mengapa bisa sama?
Hening selama beberapa detik.
“Berkencan?” tanya Biru tak tahu diri.
“Enggak, saya mau ketemu teman-teman saya,” jawab Aya dengan nada datar. Sejak tadi, hanya Biru yang terus menoleh ke arahnya seperti tidak bosan ingin terus memandangi sosok cantik di sebelahnya ini, sedangkan Aya hanya menatap lurus memandangi pintu lift berharap mereka segera tiba. Sungguh Aya berharap lelaki di sebelahnya ini tak banyak bertanya lagi.
Ting
Pintu terbuka lagi, Aya bernapas lega. Dengan gerakan cepat dia mengambil langkah, dan langsung belok ke kiri.
“Sebelah sini, Bu. Ke kiri itu ke kolam renang,” ucap Biru mengingatkan. Jangan sampai tangannya kembali lancang menarik wanita itu.
ah s**l. gerutu Aya.
“Iya.” Terpaksa lagi-lagi Aya mengikuti langkah lelaki itu. Dengan sengaja dia tidak mau menyamakan langkahnya dengan Biru.
Dan tanpa berkata apapun lagi, mereka berpisah. Karena sudah memiliki tujuan masing-masing. Aya langsung berjalan ke arah Nania dan Reva berada. Dua wanita itu melambaikan tangan sambil tersenyum jahil ke arahnya. Sedangkan Biru menuju meja yang isinya ada Devan juga Mario. Atas permintaan Devan, malam ini mereka membuat titik pertemuan di tempat ini.
“Diam!” titah Aya, lalu dia duduk di kursi kosong. “Gue tau kalian mau ngomong apa.”
“Kok bisa bareng?” tanya Nania kepo, meski sudah disuruh diam oleh Aya, tapi dia tak juga menurut. Terlalu sulit untuk mengerem mulutnya agar tidak kepo.
“Iya kok bisa? kalian tuh kayak couple tau nggak?” sambung Reva. “Mana bajunya sama-sama hitam lagi.”
“Apaan sih, kebetulan ketemu di lift. Gue juga nggak nyangka bisa ketemu dia di sini. Jangan nagco kalau ngomong. Coba lihat sekeliling, banyak banget yang pakai baju hitam,” sangkal Aya dengan nada kesal, wajahnya langsung cemberut dan tanpa basa-basi dia langsung meneguk segelas minuman yang ada di atas meja.
Reva dan Nania malah menertawakannya. “Jodoh kali.”
“Eum, minuman apa ini? kok rasanya agak aneh? gue kira air putih.” Meski menurutnya aneh, tapi dia sudah menghabiskan segelas air berwarna bening yang persis seperti air putih.
“Gila, lo habisin, Ya? ini tuh minuman gue,” jawab Reva. “Alkohol,” sambungnya lagi.
“Ya… tapi nggak salah gue dong. Letak gelasnya tepat di depan gue, dan di depan kalian masing-masing juga udah ada gelas. Mana gue tau kalau itu minuman lo.” Aya memejamkan matanya sekilas.
Reva dan Nania saling tatap, menaikkan alis, lalu tersenyum iseng.
“Ya nggak apa-apa kali, sesekali lo minum alkohol. Kan papa dan mama llo nggak ada di sini,” ucap Nania.
“Tapi tetap aja, gue nggak mau,” tolak Aya.
“Yah percuma dong lo bilang nggak mau, tapi udah habis segelas,” timpal Reva.
“Ya udah deh, semoga aja gue nggak apa-apa.” Ini untuk pertama kalinya Aya mengkonsumsi minuman beralkohol dan dia sangat berharap tidak akan ada pengaruh apa-apa pada dirinya. Tapi dis mendadak resah karena sudah menghabiskan sebanyak satu gelas. Selain merasa berdosa, dia juga merasa bersalah seperti telah berdusta pada kedua orang tuanya untuk tidak melakukan hal-hal aneh selama di luar rumah. Tapi Aya bisa apa? semuanya sudah terlanjur dan dia lakukan tanpa sengaja.
“Lo pesan apa?” tanya Nania, sambil membolak balikkan menu. Aya belum menjawab, dia malah sibuk menatap sekeliling. Ada banyak pengunjung malam ini, meja di bar and lounge hampir penuh terisi, entah itu pasangan, atau lebih dari dua orang, dan tatapannya berhenti pada satu meja di mana seorang lelaki sedang berbicara bercanda gurau dengan dua temannya, dan sialnya lelaki itu juga sedang melirik ke arahnya hingga tatapan mereka bertemu. Aya cepat-cepat mengalihkan tatapannya ke arah lain, dia menunduk melihat ponsel, sedangkan Biru? lelaki itu masih betah memandang dosen judes yang mengakibatkan skripsinya tak kunjung selesai.
Malam Yang Memabukkan
1542 Kata
“Biru yang suci mulai ngelirik cewek lain.” Devan memetikkan jarinya tepat di hadapan wajah Biru yang sedari tadi terus melirik ke arah jarum jam sebelas. Lelaki itu menyadari ke mana arah pandang Biru yang tak lepas-lepas dari sana, meski sedang berbicara dengannya, tapi Devan sadar sahabatnya itu sedang tidak fokus, hingga mengalihkan perhatian Devan untuk ikut melihat apa yang mengakibatkan sahabatnya itu terlalu asyik memandang ke arah sana.
“What?! sebentar.” Devan membulatkan mata, sesekali menoleh ke arah Biru, bergantian lagi menoleh ke kiri di mana sesuatu yang menyita perhatian Biru berada. “Itu si judes, kan?” tanya Devan tak percaya.
“Iya,” sahut Biru tak percaya.
“Wah… gila sih. Cantik mematikan.” gumam Devan.
“Mana, mana?” tanya Mario menimbrung, sedari tadi lelaki it