Membantu Tetanggaku
Dua hari yang lalu tepatnya di hari minggu sekitar jam 5.00 subuh Aku keluar rumah untuk olah raga atau berlari pagi sebagaimana yang kulakukan setiap hari minggu subuh. Namun, kali ini lari subuh yang kulakukan sangat bermakna, sebab aku ditemani oleh tetangga dekatku. Sebut saja namanya Lia.
Lia sudah punya suami dan anak, tapi penampilannya masih cukup menarik. Kulitnya mulus, putih dan tubuhnya seksi, tinggi dan sintal.
Pagi itu aku keluar melewati pintu pagar, secara samar-samar aku melihat sesosok tubuh dengan kaos warna hitam melekat di tubuhnya serta celana setengah panjang tergantung di atas lututnya membuka pintu rumahnya lalu mengikutiku. Aku tetap saja jalan agak cepat dan berpura-pura tidak memperhatikannya, tapi saat aku memasuki sebuah lorong, iapun semakin dekat di belakangku. Aku sangat yakin kalau Lia sengaja mengejarku untuk berlari subuh bersama.
“Mas , tunggu Mas ” panggilnya dari belakang, tapi aku tetap berlari, tapi sengaja kukurangi kecepatannya agar ia bisa lebih dekat denganku.
“Mas , tunggu donk Mas , aku capek nih, kita sama-sama aja” teriaknya dengan suara yang tidak terlalu keras.
Setelah kudengar nafasnya terengah-engah karena jaraknya sudah semakin dekat denganku, mungkin sekitar 10 meter di belakangku, aku lalu berhenti menunggunya, sebab kedengarannya ia capek sekali.
“Ada apa Bu, kenapa ibu mengejarku?” tanyaku sambil berhenti.
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengejar mas agar kita bisa lari bersama, biar lebih santai dan kita bisa sambil ngobrol” katanya dengan nafas terputus-putus karena kecapean.Setelah Lia berada di samping kiriku, kami lalu lari bersama, tapi kali ini tidak terlalu kencang, bahkan terkesan lari-lari kecil, yang penting tubuh kami bisa bergerak-gerak sehingga terkesan berolahraga pagi.
“Ngomong-omong, apa ibu juga secara rutin lari subuh setiap hari minggu?” tanyaku pada Lia sambil berlari kecil.
“Nggak kok, cuma kebetulan kudengar pintu rumah mas terbuka dan kulihat mas keluar berpakaian olah raga, sehingga tiba-tiba aku juga tertarik untuk menyegarkan tubuh dan menghirup udara subuh” jawabnya.
“Kenapa Nggak sekalian keluar sama suami ibu atau anak-anak ibu?” tanyaku lagi sambil tetap berlari.
“Anu Mas , suami saya itu baru saja pulang dari jaga malam, maklum kerjaan satpam jarang sekali bermalam di rumah” jawabnya santai.
Kebetulan suami Lia tugas malam sebagai satpam pada salah satu perusahaan swasta di kota kami. Mendengar ucapan Lia itu, aku jadi terpancing untuk bertanya lebih jauh tentang kehidupan rumah tangganya. Apalagi kami sudah sering bicara humor.
Aku sangat paham kalau Lia orangnya terbuka, lugu dan sedikit genit. Aku merasa berpeluang besar untuk bertanya lebih banyak padanya soal hubungannya dengan suaminya.
“Maaf Bu, kalau aku terlalu jauh bertanya. Jadi kedua anak ibu itu dicetak pada siang hari semua donk, sebab suami ibu jarang berada di rumah pada malam hari,” kata saya pada Dina, namun ia tetap tidak tersinggung, bahkan nammas nya ia tetap bersikap biasa-biasa saja.
“Bukan pada siang hari Mas , tapi pada subuh dan pagi hari, sebab biasanya suami saya pulang pada subuh hari dan langsung saja mengambil jatah malamnya, apalagi dalam keadaan ia haus,” katanya santai.
Setelah capek, kami beristirahat sejenak di atas jembatan sambil bersandar di pagar besi jembatan. Kebetulan di atas jembatan itu, banyak orang sedang ngobrol dan membahas masalahnya masing-masing.
“Bu Lia, kalau begitu waktu anda berhubungan dengan suami anda selalu singkat dan dilakukan secara terburu-buru, sebab anak-anak anda sudah mulai bangun, lagi pula suami anda sangat ngantuk” pancingku padanya.
“Yah begitulah kebiasaan kami, lalu mau apa lagi jika memang waktunya yang paling tepat hanya saat itu. Sebab di siang hari, anak-anak kami pada berkeliaran dalam rumah dan tamu-tamupun yang datang harus disambut” katanya serius, tapi tetap santai.
“Kalau begitu anda tidak pernah menikmati hubungan suami istri yang sebenarnya sebagaimana layaknya suami istri” pancingku lagi.
“Kenapa tidak, kami merasa sama-sama menikmatinya. Buktinya kami punya dua orang anak” katanya serius sekali sambil memandangiku.
Tanpa berhenti bicara, kami lalu berjalan lagi memutar ke jalan menuju rumah kami kembali. Aku coba memikirkan apa lagi yang dapat kutanyakan pada Lia mengenai hubungannya dengan suaminya.
Ini kesempatan emas bagiku untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang kehidupannya di atas ranjang bersama suami, sebab aku berniat membuat ia penasaran agar merasa membutuhkan sex lebih dari yang didapatkan dari suaminya. Aku sebenarnya ingin merangsang dia agar mau melakukan bersama denganku.
“Bu Lia, sex itu sebenarnya melebihi dari apa yang anda lakukan bersama suami anda. Suami-Istri harus menikmati kepuasan berkali-kali minimal selama 3 jam tanpa sedikitpun rasa tergesa-gesa dan takut. Menerapkan berbagai macam gaya dan posisi. Anda tentu tidak sempat menikmati semua itu khan?” jelas saya pada Lia panjang lebar.
“Oh yah, tapi bagaimana caranya jika suamiku tidak memungkinkan melakukan hal itu atau tidak mau melakukannya?” tanyanya serius.
Nafas Lia sangat keras kedengaran ketika ia selesai menanyakan hal itu, bahkan sempat memandangiku dengan penuh harap dan bergairah.
“Sekiranya ada orang lain yang bersedia memberikan kenikmatan itu pada IBu Liaa, apa ibu tidak keberatan menerimanya?” tanyaku lebih berani.
“Orang lain siapa misalnya?” tanyanya sambil berhenti.
“Sa.. Sa.. Saya misalnya. Maaf ini hanya sekedar misal Bu” jelasku sedikit khawatir kalau-kalau ia tersinggung dan memarahiku.
“Be.. Betulkah ucapan mas itu? Mana mas mau sama saya” ucapannya.
“Boleh saja terjadi jika memang hal itu sama-sama dibutuhkan, apalagi terhadap wanita cantik lagi muda seperti ibu Lia ini” ucapku sambil tersenyum memandangi wajah ibu Lia yang bertubuh sintal itu.
“Ha.. Ha.. Ha, bisa aja mas ini. Gombal ni yee” katanya terbahak.
“Betul Bu. Aku serius. Aku tidak main-main nih..” kataku tegas.
Mendengar ketegasanku itu, Ibu Lia tersentak kaget dan tiba-tiba meraih tanganku lalu mengajakku berhenti di pinggir jalan. Sambil kami berhadap-hadapan dengan jarah sekitar 2 jengkal. Lia lalu berkata:
“Bila ucapan mas itu benar dan serius, akupun serius dan bersedia. Tapi bagaimana caranya Mas agar perbuatan kita lebih aman?” tanyanya.
“Suamimu biasanya bangunnya jam berapa?” tanyaku lebih mengarah lagi.
“Biasanya jam 11.00 atau 12.00 siang” jawabnya serius sekali.
“Begini saja bu, nanti ke rumah saya saja, gimana? Nanti siang sebelum suami bangun ibu balik lagi”.
“hmmm , anak-anak gmn nanti?”
Bagaimana kalau ibu bilang sama anak-anaknya bahwa ibu mau ke pasar, lalu ibu masuk ke rumahku?” tawaranku lebih lanjut.
“Oke, tunggu saja Mas . Sebentar aku akan masuk dari pintu belakang rumah mas biar tidak ada yang melihatku” katanya berbisik.
Setelah kami sepakat, kami lalu berpisah dan lewat jalan yang berbeda agar tetangga tidak curiga pada kami, apalagi sudah jam 6.
Sekitar pukul 7, pintu belakang rumah kelihatan terbuka dengan pelan. Ternyata bu Lia menepati janjinya. Ia masuk dengan pelan tanpa mengganti pakaian yang tadi. Hanya saja bau tubuhya terasa lebih harum menyengat di hidungku.
“Sory agak lama mas, nyiapin sarapan dulu” sambil tersenyum genit sekali.
“Bu, adakah yang melihat ibu ke sini?” tanyaku setelah aku menutup dan mengunci pintu depan dan belakang.
“Tidak ada Mas. Suamiku masih tertidur nyenyak dan anak-anakku lagi main di luar dengan teman-temannya.”
“Bu lia habis mandi ya, seger banget”. Aku dekatkan ke lehernya. Dia hanya tersenyum.
Tak menunggu lama, aku peluk dia dari belakang. Sambil menciumi lehernya. Kusapu lehernya dengan lidahku. Sampai ke tengkuk. Membuat dia memejamkan mata dan mendesah pelan. Lalu telinganya aku jilatin pelan. Aku klum hingga basah. Dia semakin gelisah mendesah.
Masih posisi berpelukan aku pandu dia menuju kamar. Setelah kami duduk berdampingan di pinggir tempat tidur, kami sempat bertatapan muka tanpa sepatah katapun sejenak. Namun, karena kami sudah saling penasaran dan saling terbakar nafsu, maka kami lalu segera berbalik arah sehingga kami saling berhadap-hadapan dengan jarak yang dekat sekali. Karena dekatnya, maka nafas Lia terasa menyapu hidungku yang membuat aku sedikit gemetar.
“hmmm, udah sange banget ya bu?” udah ga tahan merasakan sensasi baru ya?”.
“Terserah mas lah. Aku turuti saja kemauan mas ” katanya sambil menatap wajahku.
Mula-mula aku menyentuh kedua tangannya, lalu naik ke lengan, bahu, leher, pipi dan telinganya sampai mengelus-elus rambut dan dagunya. Lia hanya diam menerima perlakuanku. Namun setelah kedua tanganku merangkul punggungnya dan mencium pipi dan bibirnya, iapun mulai bergerak membalasnya, sehingga kami saling berpagutan dan mengisap.
“Boleh saya masukkan tanganku Bu?” tanyaku sambil menyelusupkan kedua tanganku masuk di balik kaos yang dipakainya dan secara perlahan menembus masuk di balik BH tipis yang dikenakannya. Lia hanya mengangguk sambil merangkulku dengan keras dan merapatkan tubhnya di tubhku, sehingga terasa hangatnya di dadaku.
“Boleh kubuka mas aiannya Bu?” tanyaku lagi setelah puas memainkan kedua payudaranya dari dalam mas aiannya.
Ia lagi-lagi hanya mengangguk dan melonggarkan rangkulannya guna memudahkan aku melucuti mas aiannya. Setelah kaos dan BH yang dikenakannya semuanya terlepas dari tubuhnya, aku sejenak melepaskan rangkulan dan pagutan untuk memperhatikan indahnya bentuk tubuhnya yang telanjang, terutama kedua payudaranya yang tergantung di dadanya.
Aku sempat terperangah ketika menyaksikan kedua payudaranya yang sangat putih dan mulus, bahkan ukurannya cukup sederhana dan masih keras seperti belum pernah terjamah saja. Maklum kedua anaknya tidak pernah menetekinya, sebab keduanya sejak lahir memang dibiasakan meminum air susu kaleng dengan botol.
Setelah puas memandanginya, aku segera meraih kedua bukit kembarnya dan menyerangnya secara bergantian dengan mulutku. Kuhisap putingnya berkali-kali agar ia cepat terangsang. Lia hanya bergelinjang dan berdesis.
“Aduh, cepat buka Mas , aku sudah tidak tahan nih. Ayo Mas ” pintanya berkali-kali, namun aku sengaja tidak peduli ucapannya. Bahkan aku semakin mempercepat isapanku pada teteknya, lehernya, pusarnya dan seluruh tubuh telanjangnya.
“Ayo donk Mas , buka cepat mas aiannya, aku sudah tak tahan” pintanya lagi.
Kali ini kubuka bajuku lalu celana panjang yang kumas ai berlari tadi. Setelah tersisa hanya celana kolorku saja, aku lalu menurunkan celana setengah panjang yang dikenakannya, sehingga kami sama-sama setengah bugil.
Kami saling berpelukan dan bergulingan di atas kasur sambil saling meraba seluruh tubuh. Setelah itu aku mengangkanginya, lalu menelanjanginya setelah menelanjangi diriku. Kini kami sudah sama-sama bugil tanpa sehelain benangpun menutupi tubuh kami.
“Mas , ayo dong Mas . Masukkan cepat, aku sudah ingin sekali menikmatinya biar cepat selesai” bisiknya sambil menarik tubuhku lebih dekat ke arah kemaluannya.
Aku patuhi permintaannya. Aku dengan mudah membuka kedua pahanya, sehingga nammas jelas kelentitnya yang mungil berwarna merah jambu muda. Terasa sedikit basah oleh cairan pelicin yang keluar dari sela-sela vaginanya. Bulu-bulu yang tumbuh di sekitarnya cukup tipis dan rapi seolah terawat dengan baik.
“Tahan donk sayang, waktu kita masih panjang. Lagi pula kan aku akan tunjukkan semua permainanku yang belum pernah ibu rasakan” pintaku sambil meraba-raba dan sesekali menusuk-nusuk dengan telunjuk pada lubang yang sedikit menganga di antara kedua pahanya itu.
“Boleh kucium dan kujilat inimu Bu?” tanyaku sambil mendekatkan kepalaku ke selangkangannya.
“Terserah dech, tapi jangan lama-lama, sebab aku semakin tak tahan lagi” katanya pasrah.
Lia bergelinjang kuat. Pantatnya terangkat-angkat ketika aku menusuk-nusukkan lidahku ke lubang kemaluannya, apalagi saat aku menggigit-gigit kecil kelentitnya yang agak keras dan kenyal itu. Ia semakin berdesis dan setengah berteriak akibat perlauanku yang mengasyikkan itu. Ia sangat menikmatinya, bahkan menekan kepalaku lebih dalam lagi.
“Boleh kumasukkan sekarang Bu?” tanyaku meski aku yakin ia sangat mendambakannya dari tadi.
Secara berlahan tapi pasti, ujung kontolku mulai menyentuh kelentitnya lalu bergeser mencari lubangnya. Setelah ketemu, sedikit demi sedikit mulai menyelusup masuk. Bahkan ketika masuk separoh, aku berniat berlama-lama disiti, tapi dasar wanita yang sudah sangat penasaran, maka ia segera menarik punggungku dan mengangkat tinggi-tinggi pantatnya, sehingga kontolku amblas seluruhnya tanpa bisa lagi kukendalikan.
“Aahhkkhh.. Uukk.. Hhmm.. Eeanaakk.. Sesekaali. Teerus Mas , ayoo.. Gocokk.. Llrr.. Hh.. Aauuhh” itulah suara yang sempat dikeluarkan dari mulut Lia ketika gocokan kontolku semakin keras dan cepat. Ia bagaikan orang kehausan yang menemukan air minum. Diteguknya keras-keras dan napasnya seolah terputus sejenak menahan rasa kenikmatan yang kuberikan.
Tanpa bicara lagi, Lia langsung memutar tubuhnya, sehingga ia berada di atas mengangkangiku. Ia bagaikan orang naik kuda. Bunyi pantatnya sangat keras beradu dengan perutku, karena ia duduk di atasku sambil membelakangi wajahku.
“Akkhh.. Uuhh.. Uuhh.. Aakkhh..”
Suara itulah yang sempat keluar dari mulutku ketika kurasakan nikmatnya vagina Lia yang menjepit kemaluanku. Ia seolah tak kenal lelah dan tak mau berhenti melompat di atasku.
“Akkhh.. Buu.. Buu..’ berhenti dulu donk. Kita istirahat dulu. Aku kecapean nih” teriakku ketika kurasakan ada cairan hangat yang mulai mau menyelusup keluar di ujung perutku. Tapi Lia tetap saja bergerak dan bergoyang pinggul di atasku tanpa peduli ucapanku. Karena ia tak mau berhenti, aku segera bangkit dan berlutut sehingga ia secara otomatis nungging di depanku.
Aku langsung hantam dari belakang dan menggocok keras serta cepat hingga terasa cairan hangatku sudah berada di ujung penisku. Aku sudah tidak peduli di mana mau tumpah, apa di luar atau di dalam kemaluan Dina. Yang penting puas.
“Mas , cepat donk, terus gocok dengan keras, ayohh.. Uuhh.. Aahh.. Uummhh.. Auhh” kata Lia terputus-putus.
Sedetik kemudian, Lia berteriak sedikit keras:
“Aiihh.. Aakuu.. Kkeeluuaarr.. Paa” dan saat itu pula aku tak mampu mengendalikan diri, sehingga cairan hangatkupun tumpah ke dalam rahim Dina. Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Kami saling memberi kenikmatan yang luar biasa. Pertemuan kemaluan kami terasa sangat rapat dan seolah melekat, sehingga terasa gemetar seluruh tubuh kami. Lia langsung telungkup dan merapatkan perutnya ke kasur, sementara aku tetap menindihnya. Setelah hampir 2 menit kami tidak bergerak, akhirnya kami saling telentang puas.
Namun, tiba-tiba muncul rasa ketakutan dalam hati saya kalau-kalau Lia hamil akibat cairan kentalku masuk ke rahimnya.
“Mas , terima kasih atas kenikmatan yang kau berikan. Aku sama sekali baru kali ini merasakannya. Ternyata selama ini aku belum pernah merasakan kepuasan dan menikmati sex yang sebenarnya dari suami saya. Kepuasan yang kuterima dari suami saya selama ini hanyalah semu dan..” belum selesai bicara, aku segera memotongnya dan berkata:
“Maaf Bu bila kenikmatan yang sempat kuberikan masih sedikit, sebab sedianya aku akan memberikan sebanyak mungkin, tapi lain kali saja, sebab aku capek sekali. Habis kita baru saja lari subuh” balasku.
Setelah itu, kami saling berpelukan dan memberi ciuman perpisahan, lalu kami bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Di dalam kamar kami saling berbisik karena takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.
Setelah kami berpakaian lengkap seperti semula, aku lalu membuka pintu belakang rumahku dan memeriksa kalau-kalau ada orang lain yang lalu lalang dan mencurigakan, tapi ternyata sepi. Aku masih mau tahan agar Lia istirahat sejenak untuk melanjutkan ronde berikutnya, tapi tiba-tiba Lia melihat jam tangannya lalu segera pamit keluar karena katanya sudah pukul 10.25 menit siang. Suaminya sudah hampir bangun. Iapun cepat-cepat kembali ke rumahnya.
Besoknya kami sempat ketemu seperti layaknya tetangga dan kami pura-pura bersikap biasa-biasa saja, namun hari minggu berikutnya, kamipun kembali berlari subuh bersama, tapi kami hanya semas at untuk mengulangi persetubuhan kalau ada kesempatan kapan-kapan saja. Aku menjanjikan tip yang lebih nikmat lagi, dan iapun setuju.