Bukan Milikmu (Bagian 4. Gagal Lagi Membujukmu)
Gagal Lagi Membujukmu
Hari ini aku benar-benar gelisah, karena hari ini adalah waktu dimana keluarga Akbar datang ke rumah untuk melamarku. Gelisah yang aku rasakan, bukan karena gelisah seperti halnya seorang perempuan yang merasa cemas karena orang yang dicintainya akan meminangnya. Namun, cemas karena perasaan yang menyiksa. Dan aku benar-benar benci dengan perasaan yang aku rasakan. Aku benci dengan kondisiku sekarang, benci juga kenapa aku harus dijodohkan dengan seseorang yang akan mendominasiku.
Meski aku belum merasakan bagaimana berumah tangga dengan Akbar. Di dalam pikiranku sudah tergambarkan bagaimana nanti Akbar memperlakukanku. Dari segi pendidikan, jenjang pendidikan kita sama. Namun, Akbar lebih unggul dalam pendidikan agama. Sungguh memuakkan, entah kenapa Mama sangat memujanya. Hanya karena fisik Akbar layaknya keturunan Arab pada umumnya. Menurutku tak ada yang spesial dari fisik Akbar, justru aku jijik. Sejak remaja aku memang tidak suka laki-laki berjambang. Aku lebih suka laki-laki ala ala oppa Korea, yang tanpa jambang maupun kumis.
Sama seperti Aldo, Doni, Aris dan Riswan. Wajah mereka bersih, tidak kumuh seperti Akbar. Dan wajah mereka sesuai dengan typeku, yang lebih menyukai wajah klimis seperti oppa Korea. Mungkin karena aku peranakan Tionghoa, jadi cenderung menyukai laki-laki yang sejenisku.
Yang aku heran, kenapa Mama lebih menyukai fisik Akbar. Iya memang, fisik Akbar khas laki-laki berkulit putih. Namun, badannya yang penuh bulu membuatku muak. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana bau badannya yang menyengat.
Huh, sebenarnya aku tidak mau rasis, karena bertentangan dengan prinsipku. Hanya saja, dorongan untuk berpikir rasis ke Akbar tidak bisa aku kendalikan. Ya mau bagaimana lagi, salah sendiri kenapa aku dijadikan alat untuk membayar utang budi. Jika aku menikah dengan Akbar bukan karena balas budi orang tuaku ke orang tua Akbar. Mungkin, aku memandang Akbar dengan pandangan berbeda.
Fa, siap-siap gih! Sebentar lagi orang tua Akbar dateng, kata mamaku berteriak dari lantai bawah.
Iya, Ma. Sebentar! kataku berteriak dengan perasaan kesal.
Rencanaku aku tidak mau mandi, mungkin sebatas cuci muka sama gosok gigi saja. Aku tidak peduli, pandangan Akbar dan orang tua Akbar bagaimana. Salah sendiri mau melamarku, jadi suka-sukaku apakah aku mandi atau tidak.
Sekarang aku sedang tengkurap sambil scroll layar hpku. Sesekali aku melihat akun igku, sesekali aku scroll-scroll akun Xku juga.
Huh, nggak ada yang menarik, kataku dalam hati.
Lalu aku coba intip grup chat, ternyata tidak ada yang online juga. Agak bete sih, bukan karena di grup chat tidak ada yang online. Namun, karena aku sebentar lagi harus bertemu dengan calon mertuaku dan suamiku.
Hoam, rasanya ngantuk banget hari ini. Gara-gara si Akbar siyalan, aku harus meluangkan waktuku bertemu dengannya dan orang tuanya. Dengan langkah gontai, aku turun dari ranjang. Sekarang aku duduk di kursi meja riasku. Kuambil sisir untuk menyisir rambutku yang panjang.
Tiba-tiba saat aku bercermin di depan cermin meja riasku, aku merasa jijik membayangkan Akbar menyentuhku. Lalu memagut bibirku dengan bibirnya. Aku benar-benar jijik membayangkannya, wajahnya yang berjanggut lebat bersentuhan dengan wajahku.
Ya, ampun jijik benget. Cih, cih...
Mandi nggak ya? Tanyaku dalam hati.
Ting. Ting. Drrrt. Drrrrt.
Hpku berdering dan bergetar. Kuambil hpku untuk melihat notif dari siapa. Setelah aku menatap layar, ternyata Aldo yang sedang chat padaku. Melihat Aldo chat padaku, aku tersenyum. Disaat hatiku mendung seperti saat ini, chat dari Aldo mencerahkan suasana hatiku.
Hai, Fa... tulis Aldo.
Iya, Do... tulisku menjawab chat Aldo.
Btw, hari ini kan acara lamarannya? tulis Aldo.
Iya, Do. Males banget deh, tulisku.
Gimana kalo kamu kabur aja? hehe, tulis Aldo.
Apa sih, Do. Enggak lah. Lagian percuma dong, aku udah pusing-pusing bikin rencana tapi nggak jadi nikah sama si Akbar, tulisku.
Oh masih mikirin soal rencana gilamu. Kirain dibatalin, tulis Aldo.
Nggak dong. Bantuin aku dong, please! tulisku.
Jangan ya, Fa! Lagian ngapain sih pake acara balas dendam kayak gitu? Mending kabur kan, sama aku, tulis Aldo.
Mau kabur kemana? Nggak mau ah, tulisku.
Kenapa? tulis Aldo.
Meski aku sering nggak nurut sama ortuku, tapi aku masih mikirin perasaan mereka. Makanya aku ogah kabur, anak ortuku cuma aku, tulisku.
Anak baik... tulis Aldo.
Baru tau ya? Aku sebenarnya kan anak baik, tulisku.
Fa, video call yuk! tulis Aldo.
Yuk! tulisku.
Fa... Aldo mulai panggilan vidcallnya.
Hai, Do, kataku di depan layar hpku.
Tumben nggak pake hijab? tanya Aldo lewat vidcall.
Males, mau pake, kataku lewat vidcall, sambil merapikan rambutku yang panjang yang terurai menutupi dadaku.
Hehe, bagus sih. Aku malah suka, kamu nggak pake hijab kayak gini, kata Aldo lewat vidcall.
Awas kalo mesum! kataku di depan layar hpku.
Ya nggak lah, aku bukan type ngacengan cuma karena lihat rambut, Fa, kata Aldo lewat vidcall.
Emm, ngaceng juga nggak apa-apa sih. Hehe, kataku di depan layar hpku.
Nakal ya... Sebentar lagi kan mau nikah, kata Aldo lewat vidcall.
Bodo! Pokoknya aku nanti, ogah disentuh sama dia, kataku di depan layar hpku.
Gimana kalo dia maksa? Kan udah resmi? kata Aldo lewat video call.
Ya aku nolak lah...kataku di depan layarku.
Kulihat jam hpku, tinggal beberapa menit lagi keluarga Akbar akan datang.
Do, udahan dulu ya! Keluarga Akbar sebentar lagi dateng... kataku di depan layar hpku.
Setelah kututup panggilan video callku, aku pergi ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. Pokoknya, aku tidak mau menyambut mereka dalam kondisi terbaikku. Bodo deh, jika seandainya mereka sakit hati karena merasa tidak nyaman berada di sampingku. Entah kenapa , aku tertawa ngakak membayangkan mereka sakit hati.
Lalu kutanggalkan bajuku, kupatut diriku dalam kondisi masih memakai BH dan celana dalam di depan cermin. Kuhembuskan nafas panjang, masih dengan perasaan malas kubuka kaitan BHku dan kulepas celana dalamku.
Hmm, nggak nyaman juga nggak mandi. Ya udah deh, aku mandi aja.
Sesampainya di kamar mandi, aku lagi-lagi bermalas-malasan hanya sekedar mengulur-ulur waktu. Aku tak tau, berapa menit aku berada di kamar mandi.
Fa, kamu mandi ya? Cepetan gih! Orang tua Akbar udah dateng, kata mamaku.
Huh, kesel banget. Padahal aku ingin mengulur waktu.
Iya, Ma! Sebentar lagi kelar kok... Menyebalkan banget sih, kataku.
Kuhanduki rambut panjangku yang basah, lalu kuhanduki pula tubuhku. Setelah aku selesai memakai pakaian dalamku, kupakai dress panjangku berwarna cokelat. Tidak lupa kupakai kaos kaki panjang berwarna putih.
Pakai ini aja deh, kataku sambil memakai khimar kesayanganku yang berwarna cokelat juga. Tidak lupa, sebagian wajahku, kututup dengan cadar dengan warna sedikit kontras.
Cukup lama aku duduk di depan meja rias, dengan berkali-kali kuembuskan nafas panjang. Rasanya berat banget untuk melangkahkan kakiku, untuk beranjak dari tempat dudukku. Akhirnya dengan berat hati, aku harus turun ke bawah menemui Akbar dan orang tuanya.
Sesampainya di bawah, kulihat Akbar duduk diapit oleh seorang perempuan setengah baya yang memakai cadar sepertiku di sebelah kanannya dan orang tua berjanggut putih yang memakai peci di sebelah kirinya. Lalu ada laki-laki yang usianya mungkin di bawahku, yang memakai peci hitam, baju koko dan sarung.
Sekilas kutatap Akbar, tidak ada yang menarik dari penampilan fisiknya. Justru pandanganku teralihkan pada laki-laki muda yang duduk di dekat orang tua berjanggut putih, yang aku tebak adalah abahnya Akbar.
Setelah aku mendekat, mereka memperkenalkan diri. Sekarang aku tau, nama Abah si Akbar bernama Pak Aziz. Umi si Akbar bernama Fatimah dan laki-laki muda yang duduk di sebelah Pak Aziz bernama Ahsan.
Saat aku duduk di samping Mama, kulihat mata Ahsan menatapku dengan tatapan yang membuatku risih. Tidak hanya Ahsan namun juga Pak Aziz. Mata mereka jelalatan seakan menelanjangiku. Dan anehnya Akbar justru menunduk, tidak menatapku sama sekali.
Batinku, Kok nggak laki banget ya? Ya meski mukanya mirip sama yang di photo. Dengan jambang lebat. Tapi sifatnya yang pemalu enggak banget. Karena aku nggak suka cowok pemalu.
Jadi deal ya, Pak? Hari Hnya nanti bulan 8, tanggal 4, kata Pak Aziz.
Iya, Pak. Deal, kata Papa.
Kalo gitu kita pamit dulu ya, Pak. Mari, Bu... Nak Farisha..., kata Pak Aziz mohon diri.
Saat Pak Aziz berpamitan, mata Pak Aziz menjelajahi tubuhku. Padahal aku sekarang memakai dress longgar, khimar yang kupakai pun menutupi lekuk tubuhku. Namun, entah apa yang ada di dalam pikiran Pak Aziz dengan matanya yang jalang menatapku seperti itu. Bagiku, tatapannya itu sama saja dengan pelecehan. Karena aku tak menghendaki dan membolehkan Pak Aziz menatapku jalang seperti itu.
Assalamualaikum... kata Pak Aziz lalu disusul oleh Akbar, Ahsan dan uminya.
Wa'alaikum salam, kata Papa dan Mama.
Rasanya lega, mereka pada akhirnya pulang. Namun, perasaan kesal masih tersisa. Sampai-sampai aku tidak menjawab saat Mama mengajakku mengobrol. Dan aku buru-buru masuk ke dalam kamarku dengan pintu kamar aku banting.
Brakk...
Sesampainya di dalam kamar, aku langsung duduk di tepi ranjang sambil melepas khimar dan cadarku. Kuambil hpku, lalu aku chat Aldo.
Kesal... tulisku.
Kenapa kesal? Udah kan lamarannya? tulis Aldo.
Udah sih... Aku ngerasa dilecehin, tulisku.
Kok bisa? tulis Aldo.
Mata mereka jelalatan banget. Terutama abahnya sama adek cowoknya. Padahal aku make baju rapat kayak gini, tulisku.
Wah nggak bener tuh, Fa. Kamu harus hati-hati nanti kalo udah menikah! tulis Aldo.
Pasti. Toh aku bukan gadis lugu. Mungkin di pikiran mereka kayak gitu kali ya, tulisku.
Yang penting kamu bisa jaga diri aja sih, Fa! tulis Aldo.
Iya, Do. Aku yakin, banyak korban santriwati di pesantren mereka deh. Cuma nggak ada yang ekpos aja, tulisku.
Aku hafal sih, modelan orang-orang munafik kayak mereka. Di luar berlagak suci, padahal di dalam pesantren banyak santriwati dicabuli, tulis Aldo.
Aku nggak mau, Do. Amit-amit deh, jadi korban mereka, tulisku.
Gimana sama Akbar? tulis Aldo.
Sama aja. Bukan jelalatannya, tapi minus lah, tulisku.
Minus gimana maksudnya? tulis Aldo.
Enggak banget pokoknya. Sama sekali nggak cowok, tulisku.
Bukannya dia cowok banget? Berjambang lebat? tulis Aldo.
Iya, tapi dia pemalu banget. Cowok apaan tuh, pemalu. Nggak banget sih menurutku, tulisku.
Oh pantesan, kamu bilang nggak banget. Kamu kan nggak suka cowok culun kayak gitu, tulis Aldo.
Nah tuh, kamu apal, Do, tulisku.
Apal dong. Jangankan sifatmu, fisikmu pun apal detailnya, tulis Aldo.
Huuu... Mengarahnya pasti mesum, sama aja sama Aziz, tulisku.
Ya nggak sama dong. Aku kan nggak pura-pura alim. Kalo bejat ya aku tunjukin bejat aja, tulis Aldo.
Iya, Do. Nggak enak ya pura-pura? Aku juga nggak nyaman pura-pura sholehah kayak gini. Kesannya kan munafik, tulisku.
Kalo cewek sih, menurutku nggak apa-apa sih, Fa, tulis Aldo.
Kok bisa? Bukannya sama aja? tulisku.
Nggak sama dong, Fa. Kalo cewek terlalu agresif justru kesannya gampangan, tulis Aldo.
Itu kan aku... tulisku.
Kecuali kamu... tulis Aldo.
Yee, gimana sih? Kamu nggak anggap aku lonte kan? tulisku.
Haha, ya nggak lah, Fa. Kalo aku anggap kamu lonte, nggak bakal aku cinta sama kamu, tulis Aldo.
Kamu aneh deh, suka cewek yang nggak gampangan. Tapi malah suka aku, yang gampangan, tulisku.
Kamu nggak gampangan sih, Fa. Cuma friendly aja, tulis Aldo.
Huuu. Gimana sih? Tadi bilang aku type agresif, sekarang bilang enggak, tulisku.
Bukan aku ya, yang bilang. Yang bilang kan kamu sendiri, tulis Aldo.
Hehe, iya sih... tulisku.
Kamu itu nggak setara lah sama ukhty-ukhty diluaran sana yang lugu-lugu mudah ketipu modelan keluarga Akbar, tulis Aldo.
Jadi menurutmu, aku nggak lugu? tulisku.
Iya, kalo kamu lugu. Kamu bakal rela didominasi laki-laki, kenyataannya enggak. Sampai-sampai kamu ngerasa terhina kan, pas kamu ngerasa nggak setara sama Akbar? tulis Aldo.
Iya sih. Nggak tau kenapa aku kayak gitu orangnya. Apalagi kalo aku setelah nikah cuma dijadiin alat reproduksi doang, amit-amit deh. Perempuan kudu punya mimpi-mimpi kan? tulisku.
Bener, Fa. Nggak bisa kebayang deh, kalo perempuan dibatasi hak-haknya. Nggak boleh menempuh pendidikan tinggi dll. Dan perempuan yang dibatasi hak-haknya, bakal nurut aja dieksploitasi. Apalagi dijadiin pabrik anak, tulis Aldo.
Iya, Do. Lagian cewek yang cuma dijadikan sangsak cowok. Dan cuma mentok urusan dapur, kasur, beranak, malah nggak manusiawi, tulisku.
Bener. Malah aku pikir, mirip sex doll cewek kayak gitu. Sex doll aja harganya mahal, masak perempuan yang dijadikan istri, nggak lebih berharga daripada sex doll, tulis Aldo.
Nah bener, setuju... Eh Do. Nggak pengen ketemuan sama aku? Mumpung aku masih ta'aruf, tulisku.
Mau sih, Fa. Tapi ntar ya, kalo ada waktu luang, tulis Aldo.
Ajak yang lain juga ya, Do! Biar rame, tulisku.
Hmm, ngapain ajak mereka? tulis Aldo.
Ya aku kan kangen sama kalian, Do. Kamu kenapa sih? tulisku.
Nggak apa-apa... tulis Aldo.
Aku jadi curiga deh... Hehe, tulisku.
Curiga apaan? tulis Aldo.
Hehe, nggak jadi deh... tulisku.
Kok nggak jadi? tulis Aldo.
Kamu possesif... Padahal aku mau jadi istri orang, huuu, tulisku.
Nggak posesif sih, aku cuma nggak suka aja, tulis Aldo.
Nggak suka soal apa? tulisku.
Aku nggak mau kamu kayak dulu lagi sih, Fa, tulis Aldo.
Kenapa begitu? Kan aku bukan pasangan kamu, tulisku.
Emang sayang harus ada ikatan resmi ya? Enggak kan? tulis Aldo.
Iya sih, tapi... kenapa kamu nggak berusaha rebut aku dari Akbar? tulisku.
Ngapain harus rebut kamu dari Akbar? Toh kamu belum resmi jadi milik dia, tulis Aldo.
Jadi? Apa yang mau kamu lakuin? tulisku.
Aku nggak tau, Fa, tulis Aldo.
Kenapa nggak setuju sama rencanaku aja? Itu bisa jadi langkah awal kamu buat merebutku dari Akbar, tulisku.
Bukan Akbar hambatannya..., tulis Aldo.
Siapa? tulisku.
Perspektif kamu menjalin hubungan hambatanku... tulis Aldo.
Kok bisa? tulisku.
Ya karena kamu terlalu friendly ke semua lawan jenis, tulis Aldo.
Jadi kamu mau aku berubah? tulisku.
Enggak, bukan begitu. Jujur aku cuma mau kamu jadi milikku saja, tulis Aldo.
Aku bisa, Do kayak gitu. Tapi please bantu aku! Buat realisasiin rencanaku, tulisku.
Maaf aku nggak bisa. Aku nggak sanggup melihat kamu berbagi cinta sama orang lain, tulis Aldo.
Nafsu bukan cinta, Do. Kamu harus bisa bedain itu! tulisku.
Aku paham, tapi kenapa aku nggak rela saat berbagi tubuh kamu sama orang lain? tulis Aldo.
Kayaknya kamu harus merevisi konsep cinta deh! Kamu mencampuradukkan antara cinta dan nafsu, tulisku.
Jadi gimana menurutmu? Kalo kita have sex sama orang itu berarti nggak selalu berkorelasi sama perasaan gitu? tulis Aldo.
Nah itu kamu tau... tulisku.
Aku masih belum bisa sepaham sama kamu, Fa, tulis Aldo.
Cinta versi kamu itu, cinta Eros, Do. Kalo cinta menurutku adalah cinta agape tulisku.
Apa tuh? tulis Aldo.
Coba kamu tanya chatbot, aku males jelasinnya! tulisku.
Sebentar ya, Fa! tulis Aldo.
Iya, Do, tulisku.
Setelah Aldo offline, kutunggu Aldo di grup chat yang aku pikir Aldo akan online lagi. Namun, waktu pun tidak terasa bergerak begitu cepat. Berkali-kali aku melihat grup chat, hanya untuk menunggu Aldo online lagi. Sampai aku tidak sengaja tertidur.
Ting. Ting. Drrrrt, Drrrrt.
Aku tersentak kaget karena hpku bergetar. Sambil menguap dan kukucek-kucek mataku. Kuambil hpku untuk melihat ada notif dari Aldo.
Aku nggak mau, Fa cinta Eros, tulis Aldo.
Kenapa? tulisku.
Aku pengen cinta kamu karena rasa kasih sayang, tulis Aldo.
Jadi? tulisku.
Jadi apa? tulis Aldo.
Mau bantuin aku? tulisku.
Enggak... tulis Aldo.
Kamu mania, Do tulisku.
Apalagi itu? tulis Aldo.
Kamu terobsesi sama aku... tulisku.
Aku peduli sama kamu, Fa, tulis Aldo.
Enggak, kamu nggak peduli sama aku, tulisku.
Gimana kamu bisa bilang kayak gitu? tulis Aldo.
Karena kamu nggak mau bantuin aku sih, tulisku.
Aku nggak mau bantuin kamu karena ide gilamu nggak rasional, Fa, tulis Aldo.
Kok bisa irrasional? tulisku.
Cuma karena kamu nggak suka sama calon suami kamu, kamu punya ide buat pura-pura jadi korban gangrape. Aku nggak rela, kamu sampe fivesome, tulis Aldo.
Bukannya kita dulu pernah fivesome? Apa bedanya? tulisku.
Bedanya sekarang aku cinta sama kamu. Itu yang jadi alasanku menolak usulmu, tulis Aldo.
Kamu obsesi sama aku, Do. Kamu nggak benar-benar peduli sama aku. Ya udah lah, aku minta bantuan yang lain aja, tulisku.
Aku benar-benar kecewa pada Aldo. Ia hanya terobsesi padaku. Jika ia cinta, ia akan memisahkan antara cinta dan nafsu. Namun itu percuma, persepsiku dengan persepsi Aldo tak sinkron. Ya sudah lah, lagi-lagi aku gagal membujuk Aldo.
Bersambung